Seandainya Saya Fans City (2)

Oleh Mahfud Ikhwan


City, pasca-kucuran dana pangeran Arab itu, seperti bocah imbisil yang secara misterius mendapatkan kekuatan super. Ia yang sebelumnya berdiri saja hoyong tiba-tiba bisa terbang dan merobohkan lawan hanya dengan kibasan tangan. Karena itu, City menyita perhatian tapi sekaligus juga mengundang rasa curiga.

Itu prasangka awal saya.

Tapi, setelah kegagalannya menembus babak grup Liga Champions, rasanya metafor itu tak benar-benar mewakili. Saya kini membayangkan, City tak ubahnya anak baru di sebuah blok baru. Karena bapaknya terlalu kaya, ia tak segera memperoleh teman. Ia kesepian. Anak-anak miskin memandangnya iri, sementara anak-anak kaya melirik curiga. Berusaha keras jadi bagian lingkungan barunya, bocah kaya malang itu memaksakan diri ikut ajang permainan gundu dengan membawa seember penuh gundu yang dibelikan bapaknya. Seperti yang diduga, itu tak mengubah apa-apa. Apa pun hasil yang dicapainya di akhir permainan, bocah itu tetap akan tampak buruk di mata lawan-lawannya. Kalau kalah, ia akan dianggap goblog—“wong modal banyak kok keok!”. Kalaupun menang, ia juga tak akan menuai pujian, bahkan sinisme—“nggak menang gimana, modalnya seember gitu?” Alhasil, ia akan tetap jadi bocah kesepian. Dan, lebih parah, dibenci.

Tulisan-tulisan Rob Hughes di New York Times tentang (atau berkait, langsung atau tidak, dengan) City rasanya mewakili kebanyakan pendapat yang beredar di rubrik-rubrik sepakbola dunia. Pengagum Messi dan pemuja Fergie ini sudah “mengata-ngatai” City sebagai pembeli tropi, meski City baru saja menyelesaikan pertandingan Liga Champions pertamanya—itu pun kalah. Menurut Hughes (seperti yang sudah pernah saya kutip), tempat terhormat yang diperoleh dengan usaha puluhan tahun oleh Milan, Inter, Munchen, United, Barca, dan Madrid hendak coba ditukar City dengan berkarung-karung dinar dalam semalam. Ketika usai matchday ke-5, dan Apoel Nicosia (tim Siprus yang namanya tak pernah terdengar sebelumnya, yang anggaran permusimnya mungkin cuma cukup untuk membayar transfer pemain cadangan City macam Stefan Savic) telah memastikan lolos, Hughes memberi pujian sekaligus membandingkannya dengan klub-klub dengan anggaran besar yang masih berjuang.

Ia memang menyebut “Chelsea, Manchester United, Manchester City, dan klub-klub Eropa Utara dengan anggaran belanja besar yang masih berjuang lolos.” Tapi, kita tentu tahu, ke mana telunjuk Hughes diarahkan lebih lurus.

***

Kira-kira 20 tahun lalu, di persepakbolaan Eropa, tersebutlah sebuah klub yang bisa dikatakan—dalam arti yang paling mendekati—mencoba membeli tropi Liga Champions. Itu adalah Marseille-nya Bernard Tapie.

Sebelum Tapie masuk, Marseille sebenarnya bukan tim sembarangan di Prancis. Mereka adalah penguasa Liga di samping St. Etienne. Namun, setelah sang pengacara jadi presiden klub, Marseille melakukan hal yang sebelumnya tak pernah bisa dilakukan klub Prancis manapun. Mereka merebut gelar liga empat musim berturut-turut (1988-1991), menjadi finalis Liga Champions pada musim ke-5 (1991), dan memenanginya pada dua musim berikutnya (1993).

Seperti yang dilakukan Abramovic untuk Chelsea dan Sheikh Manshour untuk City saat ini, Tapie menyesaki ruang ganti Stade Velodrome dengan pemain-pemain mahal dan ternama di zamannya, baik dari dalam negeri maupun dari penjuru dunia. Tercatat nama macam Papin, Deschamps, Desailly, dan Cantona (Prancis), Waddle (Inggris), Allofs dan Voeller (Jerman), Abedi Pele (Ghana), hingga Francescoli (Uruguay) pernah memperkuat Marseille dalam kurun itu. Tapie bahkan berani menggaji salah satu nama yang paling besar dalam sejarah sepakbola, Franz Beckenbeuer, untuk menjadi pelatih di klubnya. Namun yang paling fenomenal tentu saja adalah saat ia—tentu dengan diam-diam—membayar pemain dari klub lain agar Marseille menjadi juara Prancis sekaligus juara Eropa.

Alkisah, pada musim kompetisi 1992-1993, tiga orang pemain Valenciennes (Jacques Glassmann, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert) dikontak oleh pemain Marseille bernama Jean-Jacques Eydelie. Para pemain Valenciennes itu, oleh Eydelie, diminta mengalah kepada timnya dan, terutama, diharap untuk tak mencederai para pemain Marseille agar tampil segar saat melawan Milan di final Liga Champions. Ujung dari “kontak” itu adalah kepastian lebih awal gelar juara Liga Prancis 1993 dan pemain-pemain yang bugar saat melawan jagoan Eropa yang sudah ditinggal trio Belanda-nya.

Hasil dari “pembelian gelar” itu adalah tropi Liga Champions pertama dan satu-satunya untuk Marseille—juga pertama dan satu-satunya untuk klub Prancis. Dan borgol dan bui untuk Tapie. Juga satu dekade penuh kegelapan bagi klub itu.

***

Jika orang kurang ajar macam Tapie saja mau menunggu hingga tahun ketujuh—sebelum kemudian nekad menempuh segala cara untuk mendapatkan tropi idaman—maka Sheikh Manshour dan City-nya memang sebaiknya lebih bersabar dan, lebih penting lagi, tahu diri. Apalagi mengingat City-nya Seikh Manshour tidak mendekati keadaan Marseille-nya Tapie, lebih-lebih Milan-nya Berlusconi, yang bisa dibilang sebagai raksasa tidur yang coba dibangunkan lagi oleh seorang kaya gila bola.

City bahkan tidak cukup punya bekal sebagaimana Chelsea-nya Abramovic—klub yang bisa dianggap paling “mendekati” City saat ini. Kalau pemilik Chelsea sebelumnya, lewat sentuhan tangan Gullit, Vialli, dan terutama ketekunan Rannieri, meninggalkan bagi Roman dan Mou, di lemari Stanford Bridge, paling tidak, sebuah tropi Piala Winners yang masih baru, beberapa gelar minor lokal, dan terutama pengalaman terbiasa dengan sepakbola Eropa, Sheikh Manshour hanya mendapati dua cawan tua dan kegagalan besar tinggalan Thaksin Sinawatra di City of Manchester.

Jadi, seperti bocah kesepian dengan seember gundunya, alih-alih keranjingan oleh hasrat memenangkan permainan, City sebaiknya lebih memikirkan bagaimana bisa terlibat lebih sering dalam permainan, membuat lawan-lawan menyadari keberadaannya, memaksa mereka terbiasa dengan kehadirannya, sebelum kemudian, di waktu yang tepat, memunguti gundu-gundu kemenangan satu demi satu.

City sepertinya tak akan mengalami nasib macam Parma ’90-an atau Leeds United 2000-an, para pencetak one hits wonder yang kemudian tepar. Tapi, sangat mungkin mereka “cuma” akan jadi Chelsea berikutnya, atau lebih buruk lagi. Meski punya banyak kesamaan dengan Chelsea, tim London itu bukan contoh baik untuk ditiru agar City menjadi bagian inti komunitas sepakbola Eropa. Bukan saja karena karakter tidak sabarannya, tapi juga menguatnya tanda-tanda bahwa mereka akan lebih lama lagi membiasakan diri dengan kegagalan-kegagalannya. Juga jangan seperti Arsenal, yang hanya kerasan untuk ambil bagian tapi tak pernah cukup keras berusaha untuk memenanginya.

United adalah contoh terbaik—tentu dengan sedikit mengesampingkan sebuah tropi Eropa lama dan beberapa gelar lokal yang mereka dapatkan sebelum kebangkitannya di tahun 1992.

Ya, tetangga yang kini tampak lebih pendiam itu, adalah role model paling tepat untuk diikuti jejaknya di kancah sepakbola Eropa. Memulainya dari Piala Winners (sebuah tropi Eropa kelas tiga) pada 1991, lalu memesan tempat tetap di Liga Champions, sebelum memenanginya (kembali) di pengujung dekade.

***

Ya, bahkan jika saya fans City, saya tak akan sungkan untuk menyerukan kepada Sheikh Manshour agar meniru kesabaran para pemilik United saat menunggu Fergie memberikan piala pertamanya. Oke, dengan gelontoran dinar yang begitu banyak, mungkin City tampak berhak mendapatkan “gundu-gundu kemenangannya” lebih cepat—Mancini toh telah memberikan sebuah Piala FA setelah satu setengah tahun bekerja. Tapi, pada intinya adalah kesabaran—dan, lebih utama lagi, kesadaran—untuk menunggu.

Karena itu, seandainya saya fans City, maka saya akan bergembira dengan kegagalan menembus babak knock-out Liga Champions 2011 tempo hari. (Lagi pula, bukankah Napoli terlihat jauh lebih keren dari Basel? Jadi, apa yang perlu disesali?) Meski dengan sedikit kecut, saya akan memilih mengikuti saran sinis Rob Hughes agar City “coba lagi musim depan”.

Berharap memenangi Liga Champions pada musim pertama berpartisipasi sama saja dengan merampas semua gundu lawan pada kali pertama ikut permainan: pertama, itu jelas tidak sopan; kedua, itu terlihat mustahil. Barcelona masih sulit dikalahkan, Madrid sangat menakutkan, sementara Milan dan Munchen jelas harus kembali dimasukkan hitungan. Jadi, daripada akhirnya rontok juga, dan kelelahan di pengujung Liga, jauh lebih afdal jika musim ini City memperbaiki catatan di ajang Europa Cup (akan sempurna jika memenanginya), dan memasang kewaspadaan tinggi atas kebangkitan United di liga lokal.

United memang masih terguncang setelah dilibas City 1-6 (bukan 6-1, sebagaimana tertulis di salah satu judul tulisan di blog ini). Sejak Darren Fletcher mencetak sebuah gol “bunuh diri” di September Kelabu itu, United jelas tampak kesulitan mencetak lebih dari sebiji gol di setiap pertandingan yang dilaluinya, dan itulah yang membuat mereka tak bisa melewati Basel. Tapi United tetaplah United. Mereka bisa sangat mengejutkan disaat sedang diremehkan. (Ingat, mereka pernah menyalip Newcastle dan Arsenal setelah sempat tertinggal dua digit poin.)

***

Seandainya saya fans City, saya tak ingin City membusuk seperti Marseille-nya Tapie atau jadi putus asa macam Chelsea-nya Abramovic. Meski agak sengak untuk didengar fans City lainnya, seandainya saya fans City, saya ingin City mengikuti jejak United-nya Fergie. Dan, coba tebak, untuk bisa seperti United-nya Fergi, pertama-tama bukanlah dengan menjadi juara Liga Champions dengan segera, tapi menghentikan hegemoni Liverpool.

Jadi, jelas, langkah pertama yang mesti dilakukan City untuk mengikuti jejak United adalah dengan mencegah United terus menjadi United. Seperti United lakukan atas Liverpool, City harus mencegah United mendapatkan gelar Liga Inggris ke-20-nya, selama mungkin. Dengan kata lain, agar City bisa mengikuti jejak United, United harus “di-Liverpool-kan”.

Dan itu tempatnya bukan di Liga Champions, tapi di Liga Inggris.


11-12-11

Related Posts:

0 Response to "Seandainya Saya Fans City (2)"

Posting Komentar