Oleh Darmanto Simaepa
Mou di Barnebeu
Minggu dini hari itu, saya menyaksikan seorang laki-laki yang sangat percaya diri—dia menyebut dirinya sendiri sebagai yang istimewa—mendadak putus harapan dan hilang asa. Dalam setengah jam terakhir, pria jenius dan angkuh itu hanya berdiri memaku di garis tepi, menelan ludah berulang kali dan menggigit bibirnya sendiri. Matanya memicing dan langkahnya tidak setegap biasanya. Bahkan, ia tak sanggup mengangkat jari untuk memberi instruksi.
Itu bukan Mou yang saya kenal, kagumi—dan juga saya benci. Pria itu bukan orang yang berlari ke arah penonton di tengah Nou Camp, berkacak pinggang dan mengacungkan telunjuk ke arah tribun. Bukan orang yang berani memaki Direktur Tekniknya sendiri. Bukan pula orang yang meloncat-loncat girang dan sambil berlutut, menggoyangkan tangannya di pinggir rumput Stamford Bridge. Ia bukanlah orang yang berapi-api di konferensi pers dan bertanya-tanya secara retorik por qué (kenapa)? por qué (kenapa)? Sambil menyebut UNICEF dan UEFA, serta sederatan nama wasit, dari Stark, Ovrebo, Busacca, De Bleeckere, sampai Frisk...
Itu bukanlah Mou yang sebenarnya (atau malah sebenar-benar dia?). Saya tidak tahu pasti. Ia mungkin pria berwajah Janus. Konon, dibawah Sir Boby dan van Gaal, dia adalah pria hangat yang sangat dekat dengan para pemain. Pada periode itu sopan, patuh, rendah hati dan sangat cerdas—tentu saja ia begitu—adalah citranya yang melekat. Namun, di sisi lain, dia adalah pencoleng yang hanya berani mencolok mata pria lain dari belakang. Seorang sarkas dan sinis serta selalu ingin menang dengan pelatih lawan, tidak hanya dilapangan, namun sekaligus di hadapan wartawan. Ia pria yang menangani remaja seperti Canales dan Pedro Leon dengan cara yang buruk. Tidak hanya hebat dalam menggunakan pikiran cerdas dan kata-kata, ia juga menyuruh para pemainnya berpura-pura untuk mendapat kartu kuning dengan sengaja.
Namun, tidak seperti classico edisi musim lalu, atmosfer menjelang tengah malam di Barnabeu tampak lebih dingin. Tidak ada perang kata-kata di media. Tidak ada jual beli ucapan sebelum pertandingan. Mou bersikap kalem, sedikit acuh dan menyerahkan mikropon kepada Karanka. Itu Mou jenis yang lain, berbeda dengan orang yang 4 bulan lalu menolak meminta maaf atas kepengecutannya secara terbuka.
Saya berprasangka ini bagian dari taktik. Bagian dari kisah lain Mou yang cerdik.
*****
Mou telah memenangkan sebuah pertempuran yang keras dengan Valdano, berhasil memutar moralitas dan nilai-nilai Madrid, merebut kendali Valdebabas, dan merevolusi struktur kekuasaan Madrid. Ia telah memberi suatu visi Madrid yang lain—Madrid yang hebat namun terobsesi dengan apa yang diraih Barca. Dan ia berhasil membawa publik Madrid menuju arah yang ia tunjuk. Dengan cara apapun. Dengan resiko apapun. Bahkan jika gaya itu mengkhianati prinsip klub itu sendiri. Tanpa pesaing dari dalam dan dengan pelukan hangat dan dukungan penuh dari el-presidente, jalan menuju Madrid versi Mou terbentang lapang.
Tidak ada jalan balik untuk kembali. Obsesi mengalahkan Barca dan merebut La Decima telah menentukan takdir Madrid bertemu dengan ambisi pria Portugal itu. Mourinho bergabung dengan Madrid untuk sebuah rahasia yang semua orang tahu: Madrid menginginkan Mou, dan begitu pula sebaliknya. Mou ingin menjadi orang pertama yang mencium telinga lebar untuk kali ketiga, sementara Madrid berhasrat menggenapi rekor juara untuk kesepuluh kali. Tanpa trofi utama, empat tahun terakhir adalah periode gelap penuh derita bagi Madridista yang harus menyaksikan Barca mampu menciptakan mesin permainan yang akan dikenang sebagai salah satu terbaik dalam sejarah. Perez melihat dalam diri Mourinho, satu-satunya harapan yang mampu menghentikan dominansi lagu-lagu kemenangan dari Catalunia, seorang istimewa yang akan memutar roda sejarah sepakbola dari tepian barat Mediterania.
Dan ia mulai membuktikan janjinya. Ia membuat kakek-kakek di Madrid bernostalgia dengan kegemilangan kembali el Grande Madrid masa Paco Gento, Puskas dan di Stefano. Dengan menang 15 kali tanpa putus, 10 diantaranya di La Liga, dengan selisih gol 57-9, Ia tidak perlu membuktikan apapun lagi. Ia tidak perlu pena wartawan untuk menyambungkan gagasannya ke pada publik. Dia sudah membuat Madrid berada di level yang dipunya Barca. Zizou bahkan memuji, Mou telah melampaui Barca.
Sikap kalemnya bisa bermakna ganda. Sikap itu boleh jadi sebagai cangkang untuk melindungi dari kritik. Dia memilih untuk tidak menyulut api, agar tidak terbakar. Anda tahu maksud saya bukan: dia memilih untuk tidak kontroversial agar tidak menjadi pusat perhatian. Kalau kalah, dia terhindar dari kritikan dan sasaran tembak. Ia tidak berusaha membawa euforia ke dalam classico, karena jika jika kalah, akan berbalik arah dan membunuh reputasinya.
Sebaliknya, sikap kalem akan memberikan keuntungan kuadrat jika Madrid memenangkannya. Kalau menang, sikap diamnya adalah bentuk jumawa bahkan sebelum memulainya. Setara dengan ‘peribahasa pukul utara kena selatan’, dengan diam ia hendak mengatakan, ‘saya tidak perlu berkoar-koar untuk menang’. Kalem dan tenang, yang cerdik dipilih oleh orang jenius yang ekstrovert, adalah senjata yang bisa membungkam kritik jika menang, dan menyelamatkan diri jika kalah.
Namun, ternyata, tidak sesederhana yang saya kira.
Mou di Madrid
The Guardian menulis kisah Mou dari versi yang lain. Di akhir September, setelah hanya bermain seri di Santander, dia marah besar diruang ganti. Alih-alih mendapatkan rasa takut dan mampu menekan, dia mendapatkan perlawanan cukup kuat dari anak buahnya. Beberapa pemain pulang tanpa menyapanya. Beberapa membocorkan ke media massa. Pemberontakan kecil pasukan loyalnya, yang tak terdengar pernah dialaminya, telah melukainya.
Seringkali ia dimitoskan sangat melindungi para pemainnya, mengambil alih tekanan beban ke pundaknya, bersiap menghadapi cercaan, namun ternyata publik dan pemain Madrid tahu sebuah kenyataan: terkadang ia bisa menyalahkan para pemainnya dan tidak memaafkannya. Gejala ini terlihat dari hilangnya suasana hangat yang menjadi ciri dari gaya kepelatihannya sepanjang Oktober—setidaknya yang terlihat di siaran televisi. Setiap kali mengganti pemain, dia jarang mendapat tatapan mata bersahabat dan jabat tangan erat. Dia lebih banyak duduk manis disamping Karanka, dibalik atap bangku cadangan, dengan tempiasan lampu stadion yang menyinari separuh wajahnya.
Tentu saja, tekanan dari publik Madrid dan media turut menentukan langkah selanjutnya. Setelah kecamuk di kantor klub, colekan ke mata Vilanova, dan strategi brutal untuk menghentikan laju Messi atau Iniesta, kritik bermain seperti ‘kucing’ dari Di Stefano dan kenyamanan kekuasaaan telah membuat Mou memilih bersikap untuk tidak arogan.
Mourinho mengenali masalah dan beraksi. Lalu, terjadilah penyesuaian-demi penyesuaian. Jamuan makan malam bersama dengan daging bakar direncanakan, diatur dengan teliti, dan disiarkan media massa, sebagai cara untuk mencitrakan tim masih sebagai sebuah kesatuan. Kendati sikutan dan terjangan untuk pemain-pemain Barca masih direstui, cara Mourinho menghadapi tekanan tidak seperti menangani perang—baik secara publik maupun personal. Para pemain diberi lebih banyak kesempatan bersuara. Mereka diberi ijin mengeluarkan komentar terbuka setelah latihan atau pertandingan.
Selepas final Super Copa, Mourinho, tampak telah berubah. Dia tidak lagi memainkan strategi provokasi. Mungkin hasil-hasil yang memuaskan—serentetan kemenangan, marjin gol yang menakjubkan, dan rekor-rekor yang terpecahkan—telah menjadikannya menjadi sosok yang bisa menerima keadaan. Mourinho tampak lebih santai. Seorang pemain Madrid mengakui adanya perubahan. ‘Iklim tampak lebih sejuk dan tenang, ‘ kata Ramos, ‘Ini akan sangat membantu meningkatkan keyakinan’.
Suasana sejuk dan adem di ruang ganti ternyata jauh lebih menjanjikan kemenangan dari pada motivasi yang berapi-api atau caci maki tak terkendali. Madrid, sepertinya tampak lebih matang dan bijak. Tapi mungkin ini evolusi yang alamiah. Dari Rob Hughes hingga Valdano, dari Roberto Carlos sampai Ronaldo Nazario, melihat gejala pendewasaan para bintang egois ditangan pria dari Setubal itu. Madrid dianggap tim yang mulai terbentuk, mapan dan lebih baik. Semuanya tampak terpadu dan tidak ada lagi pertempuran di luar lapangan diantara mereka sendiri. Lini belakang lebih stabil. Ramos mampu menambal lubang yang ditinggal Carvalho yang cedera. Ruang tengah cukup nyaman dengan kombinasi Alonso dan Diara atau Khedira, dan mereka mulai fokus untuk rencana-rencana penyerangan, taktik-taktik yang lebih variatif, dan pola-pola yang kreatif.
Setelah kekalahan dari Levante, mantra ajaib Mou menemukan berkahnya: musim kedua lebih baik, dan pendukung boleh berharap dia akan memberikan piala. Ini belum menjelaskan dimana letak perbedaan posisinya sebab Capello dan Schuster pernah lebih baik melakukannya di musim pertamanya. Yang istimewa, Mou mendapatkan kesempatan yang jauh lebih lama—tidak ada pelatih yang mendapat musim kedua di masa Perez. Lebih dari itu, Mou mendapatkan otoritas yang jauh lebih besar—sesuatu yang memang diincarnya. Dia, bahkan, seperti burung merak, dipersilahkan memamerkan bulu-bulu indahnya di istana sepakbola. Tidak ada pelatih yang namanya dinyanyikan di Barnebeu seperti dia—bahkan tidak juga del Bosque.
Seluruh kritik terhadapnya sepertinya salah, dan dia menawarkan kebenaran yang mudah untuk dipercaya. Seluruh dunia yakin dan sependapat, di tahun keduanya, Mou akan melukai Barcelona. Tidak dengan kata-kata. Tidak dengan strategi menjijikkan. Tidak dengan permainan bertahan. Tapi dengan permainan menyerang yang mengesankan. Setidaknya itulah yang diharapkan dua tetangga kamar saya.
Tapi itu semua tidak cukup. Sekali lagi, harapan yang membumbung tinggi itu, patah dan jatuh berkeping-keping ke bumi. Sehingganya saya segera mengingat Mou dan lagu Hetty Koes Endang sekaligus: janji tinggal janji.
Mou Sebagai Pelatih
Dalam classico ke 7 di musim kedua bersama Mou, Madrid bermain terbuka, menekan, dan berusaha menguasai bola. Pertama kalinya sejak dikalahkan secara memalukan dengan angka lima, Mou hanya menggunakan 2 gelandang bertahan dan tiga lainnya berorientasi menyerang. De Maria bermain menjanjikan dengan berani menusuk ke rusuk sebelah kiri. Unggul cepat 1-0 membuat mereka semakin percaya diri.
Namun, sepertinya, gol hadiah dari Valdes itu justru titik baliknya. Unggul cepat belum ada dalam imajinasi pemain Madrid. Gol datang jauh lebih cepat dari rencana-rencana yang telah disusun rapi. Mungkin karena ditempa oleh sedertan kekalahan memalukan, para pemain Madrid justru terlihat kebingungan, justru pada saat meraih rejeki tiban. Sejak menit kedua, tim itu bukanlah Madrid-nya Mou. Tidak ada pressing ketat, disiplin, determinasi, dan permainan physical yang dinamai oleh pelatih Sporting Gijon, Manuel Preciado sebagai ‘bestiality’—alias kebinatangan. Para pemain Madrid lebih santai dan lebih banyak menciptakan ruang, dan disanalah bunuh diri telah dimulai.
Tepat disinilah saya akan menunjukkan dan menemukan alasan untuk tidak menyukai Mourinho (kecuali mungkin jika visinya mampu menginsiprasi pelatih Indonesia mendapatkan gelar juara). Saya berani bertengkar dengan siapa saja untuk mengatakan, tanpa mengurangi rasa hormat atas segala kepintaran dan kecerdikannya, Mourinho bukanlah pelatih terbaik didunia—bahkan di masa kontemporer.
Saya pikir, dia tidak memiliki gagasan yang brilian terhadap permainan indah ini selain memburu piala dan kemenangan. Dia tidak menawarkan apa-apa terhadap sepakbola dan tidak memberi nilai tambah dari sisi evolusi taktik dan gaya sepakbola. Etos dan eros terbesar Mou adalah pragmatisme. Tidak lebih, tidak kurang. Apapun akan ia lakukan untuk menang.
Pendekatan taktik Mourinho tidak pernah baru, begitu dibilang Andy Roxburgh, dan saya setuju. Ia tidak pernah merevolusi—atau katakanlah menciptakan suatu tradisi—untuk permainan ini. Ciri terbaik yang bisa dirujuk dari gaya kepelatihanya adalah kedalaman informasi dan persiapan yang rinci. Latihan-latihan yang ia berikan adalah pengulangan tanpa henti pola-pola tertentu sehingga memaksa pemainnya akan bekerja seperti mesin pencetak biskuit: presisi, otomatis, akurat, tanpa kesalahan. Sesi-sesi latihan taktiknya pendek, intens dan terdiri dari gerakan-gerakan yang mengandaikan para pemain kehilangan bola.
Sewaktu kursus di Glasgow dimasa mudanya, dia dikenal sebagai orang yang terobsesi dengan transisi dan keseimbangan. Untuk mengatasi obsesinya ini, ia melihat sepakbola sebagai hitungan matematis. Langkah pemain diukur, umpan dikalkulasi, pergerakan tanpa bola disistematisasi, dan setiap menit pertandingan adalah hitung-hitungan untung rugi.
Jika Mourinho melihat sepakbola sebagai sains, maka Maestro sepakbola melihat sepakbola sebagai puisi. Ia tidak berada di level yang sama dengan Rinus Michels, Cruijff, Sacchi, Tele Santana, Heleno Herrera, Wenger dan Guardiola (untuk menyebut beberapa nama) yang yakin dengan imajinasi dan fantasi terhadap sepakbola. Mou tidak pernah memiliki gagasan tertentu terhadap pola menyerang atau bertahan dalam permainan ini dan berusaha mewujudkannya. Ia tidak punya banyak imajinasi bagaimana memainkan bola sama indahnya dengan Picasso menggunakan kuasnya. Ia bukanlah maestro.
Itu menjelaskan kenapa ia jauh lebih cocok dan sukses di Porto, Chelsea atau Intermilan. Ia lebih brilian membangun pertahanan dan cerdas menangkal serangan lawan dari pada menciptakan tim yang merancang pola serangan. Sisi terbaiknya jauh lebih mudah dikenali dari caranya mengantisipasi strategi lawan. Etos kerjanya adalah respon defensif terhadap inisiatif lawan. Seperti pendekar yang terobsesi membunuh lawan dengan mengurai kelemahan, Ia tidak pernah memulai serangan.
Tentu saja dia sangat brilian. Ia mampu mendefinisikan ulang etos kerja kepelatihan dalam sepakbola kontemporer. Saya sepakat dengan Ronaldo yang mengatakan bahwa Mou adalah yang terbaik dalam menganalisa kelemahan dan kelebihan lawan. Laporannya, kata van Gaal, selalu kelas satu. Ia bekerja sangat keras dan rinci. Pekerjaannya selalu menuntut kesempurnaan setiap hari.
Yang jauh lebih penting: dia adalah boss yang hebat. Ia mampu menciptakan tim yang bekerja untuknya. Yang penting baginya adalah keabadian dan kejayaan dirinya. Dia tidak perduli dengan permainan indah, penguasaan bola, permainan menyerang, atau gol-gol brilian. Saya tidak pernah mendengar atau melihat dia memberi selamat buat apa yang diciptakan Messi. Baginya gol adalah gol. Menang adalah menang. Satu gol sama nilainya dengan 5 atau 6 gol dalam pertandingan.
Kemampuan terbaiknya adalah mengorganisasikan sekelompok orang untuk meraih apa yang ia inginkan. Menggiring, mengumpan, mencetak gol, adalah alat untuk meraihnya. Jika ada cara lain, misalnya, dengan memperalat media massa, memprovokasi wasit, atau mengintimidasi mental pemain lawan, dia akan menggunakannya. Ia bisa memotivasi para pemainnya untuk siap mati di lapangan untuk tujuan yang telah ia tetapkan. Ia mampu memaksa Etoo bermain menjadi bek kiri, atau Pandev menjadi gelandang bertahan.
Dengan memuja kemenangan, ia agak kurang perduli dengan aspek permainan itu sendiri.‘Sejarah kemenangan sepakbola’, ujarnya sewaktu di Chelsea, ‘adalah akumulasi kesalahan demi kesalahan’. Dia bisa memaklumi peluang yang gagal, tetapi tidak bisa berdamai dengan dengan salah umpan atau posisi yang keliru. Untuk meminimalkan kesalahan, dia memerintahkan riset, membuat catatan, dan penggunaan statistik.
Bagi saya, untuk memburu kemenangan, dia melupakan aspek dasar sepakbola: permainan. Istilah permainan berada dekat dengan filosofi bermain-main. Sementara Mou tidak mau ada perasaan kekanak-kanakan dalam sepakbola. Ia terlalu serius dan sungguh-sungguh terhadap permainan ini. Tim-tim yang dilatihnya memiliki determinasi yang tinggi. Mereka sangat jarang tersenyum—kecuali setelah menang atau mencetak gol. Saya teringat makiannya kepada Lucio yang, sebagai orang Brazil, sesekali juga ingin naik ke depan, meninggalkan pertahanan dan menguji imajinasinya untuk menciptakan peluang.
Dia menggunakan akal sehat dan kalkulus, tapi agaknya, tidak menggunakan imajinasi. Saya berani mengatakan begini karena dia tidak pernah bisa menangani pemain-pemain bertalenta tinggi. Balotelli, Santon, Canales adalah jenis-jenis pemain yang hidup dengan imajinasi. Selain masalah cedera, skema Mou tidak pernah berhasil menyediakan panggung bagi Kaka untuk bermain sebagai fantasista. Ozil terlihat lebih kreatif, anehnya lebih menjadi seniman, ditangan Loew dan tim Jerman. Mungkin, dia hanya berhasil memberi skema bagi Sneijder untuk menjadi jantungnya Inter. Tapi dalam karirnya yang berkilauan, dia lebih cocok bekerja dengan pemain-pemain seperti Lampard, Maniche, atau Carlos Alberto atau Cambiasso.
Seperti yang diutarakannya sendiri, ia lebih menyukai pemain matang yang tidak lagi bertanya soal taktik dan strategi. Ia tidak punya waktu untuk mendampingi anak-anak muda yang membutuhkan panutan. Pilihan ini cocok dengan cita rasanya untuk memburu kesuksesan di waktu yang pendek. Saya tidak yakin ia bisa bertahan di sebuah tim dalam waktu yang lama, membentuk suatu gaya permainan tersendiri, dan tumbuh bersama pemain muda yang penuh ambisi. Ia membutuhkan pemain matang yang bisa ia kendalikan untuk mencapai ambisinya sebagai pemenang.
Pernyataan saya tentu saja mudah untuk dibantah pengagumnya. Justru karena bekerja dengan pemain-pemain yang tanpa imajinasi dan biasa-biasa saja, terlihat disitulah kehebatannya. Setelah meninggalkan kota Milan, terlihat bahwa dialah yang spesial di bagi Inter dan terutama Moratti. Dia mampu membentuk tim yang terdiri dari pemain-pemain medioker—Darlei, Alanitchev, Pandev, Milito, Carlos Alberto—untuk bersinar dan mencium piala Champion. Pelatih-pelatih lain tidak mampu melakukan hal yang sama terhadap pemain-pemain semenjana itu. Dia mampu menggali hasrat kompetitif dari setiap pemainnya. Dia bisa membentuk tim yang berasal dari pemain semenjana.Hanya Mou dan hanya Mou yang mampu melakukannya.
Konon, didunia ini ada dua tipe pelatih: kuat dan lemah. Dalam sejarah sepakbola kontemporer, Mourinho memberi definisi tentang bagaimana seorang pelatih kuat. Jorge Valdano mengakuinya. Maniche, dengan nyaris memujanya, menyebut Mou sebagai ‘penjaga, tukang kebun, dan nakhoda’ sekaligus—betapa tiga kombinasi karakter yang menggambarkan kekuasaan dan keberanian, jiwa perawat, dan visioner
Mourinho selalu memulai dengan menyalakan api. Pendekatannya terhadap pertandingan seperti memimpin satu barekade pasukan menuju medan peperangan. Setiap konverensi pers adalah penjelasan strategi dan taktiknya. Pada saat orang bertanya, dimana nilai-nilai señorío—sikap jantan, jentelmen—menguap setelah Mourinho datang? ‘Siapa peduli,’ ‘Mourinho menjawabnya, ‘kami ingin menang’.
Dari sikap Maverick-nya, Mou mendapatkan respek dan rasa hormat. Respek bisa berasal dari dua hal: rasa takut dan persehabatan. Mou mendapatkannya, hampir dari semua bekas pemainnya. Materazzi menangis untuknya secara terbuka. Lampard dan Terry masih menelponnya secara teratur. De Boer menyebut Mou bisa hangat terhadap seluruh pemain-pemain Barca di masanya. Namun orang yang sama bisa menyebut Balotelli sebagai pemalas dan berjanji tidak akan memasangnya selama dia di Inter. Ia juga bisa membunuh harapan dan karir Pedro Leon secara terbuka.
Respek biasa didapatkan dari kombinasi tangan besi dan kehangatan persahabatan. Ia adalah—seperti yang secara sinis dikatakan Rob Hughes—pemburu kemenangan demi glorifikasi dirinya sendiri. Para pemain sangat penting sejauh memberi kemenangan untuk dirinya. Ia mewakili gejolak hati para penonton. Sebagai simbol dari sikap yang menempatkan kemenangan sebagai satu-satunya kebajikan. Pendapatnya saat menyelamati Levante sangat menggambarkan imannya pada sepakbola. Dia mengatakan, ‘Levante tahu cara terbaik mendapatkan kemenangan. Mereka berpura-pura, memprovokasi wasit, dan memerintah anak gawang melemparkan bola ke dalam lapangan untuk mengulur waktu. Jika saya, pelatihnya, saya juga akan melakukan hal yang sama’.
Dari sini kita tahu, kenapa ia dicintai oleh banyak orang: dia adalah simbol dari hasrat untuk menang. Dia tidak peduli main indah atau bermain cantik. ‘Biarkan Barca mendapat dan menguasai bola,’ sinismenya yang terkenal, ‘saya memilih menguasai piala. Ukuran dan standarnya sebagai pelatih adalah Piala. Seperti Napolean yang menaklukan Eropa, ia menang di Portugal, Inggris, Italia, dan berusaha menancapkan benderanya di Andalusia.
Mou dilahirkan sebagai seorang juara. Tapi bukan pembaharu sepakbola.
Mou di Konferensi Pers (Setelah Classico)
Jika anda membaca tulisan-tulisan sebelumnya, saya telah mengatakan Mou tidak cocok untuk melatih tim-tim seperti Milan, Madrid, atau Barcelona. Juga Arsenal pasca paruh 1990an. Rumahnya bukan di katedral-katedral seni sepakbola. Seperti Dunga dengan Brazil, filosofinya tentang sepakbola sangat berbeda dengan timnya. Madrid terlalu besar untuk taktik pragmatismenya. Mou tidak cocok dengan identitas dan filosofi convencer y convencer. Dan Madrid tidak cocok dengan filosofi pragmatisme ala Mourinho.
Mungkin ada semacam harapan, Madrid akan mengubah perilakunya, atau juga sebaliknya, Mou yang akan mendefinisikan ulang bagaimana Madrid memandang sepakbola. Schuster juara pada musim pertamanya. Begitu pula Capello, pria terakhir yang mampu mengalahkan Barca di classico. Mou mendapat gelar Copa dengan permainan yang hanya pantas dilakukan oleh Stoke City atau Levante. Dan lihatlah yang terjadi: Madrid memilih menjadi simbol klub.
Banyak orang berharap, dan yakin, di tangan Mou, Madrid akan mengatasi sikap rendah dirinya dihadapan Barca. Sampai kemudian, 90 menit kemarin mengatakan sebaliknya. Inferioritas itu menggejala dimana-mana: kaki-kaki Ronaldo yang gemetar, otak kreatif Ozil yang tidak berfungsi, dan gugupnya Marcelo setiap menghadapi Messi. Barca bermain dengan keberanian dan meyakini sepakbola yang mereka inginkan. Sementara respon Madrid selalu defensif. Itu menggambarkan mentalitas Madrid versi Mourinho.
Menjelang hingga usai classico Minggu itu, saya tidak melihat Mou yang biasa (dan mungkin sebenarnya). Namun, setelah kalah, karakter aslinya muncul di media. Tidak ada kartu merah. Tidak ada penalti kontroversial. Tidak ada pertikaian soal keputusan wasit di media massa. Tidak ada tayangan ulang untuk melihat sejumlah kesalahan yang merugikan timnya. Di saat ia kehilangan sejumlah alasan yang sering dipakai, dilebih-lebihkannya untuk melindungi dari rasa sakit akibat kekalahan, ia masih menolak untuk mengakui kehebatan lawannya.
Ia lebih menyalahkan keberuntungan. Seperti seorang religius yang mengaku eksistensialis, jika semua tidak bisa disalahkan, apalagi yang bisa digugat kalau bukan nasib dan Tuhan? Saya sendiri tidak mengerti kenapa dia tidak pernah memberi respek kepada Barca, yang bertarung dengan gagah berani, mampu mengatasi rasa takut di Barnebeu, dan cepat pulih setelah blunder yang fatal itu. Sebaliknya, ia menipu dirinya sendiri dengan mengatakan timnya tidak merasa inferior dalam pertandingan itu. Dia bahkan sangat percaya diri dan berani melawan ratusan juta mata orang pemirsa dengan mengatakan, melihat tidak ada tim yang lebih baik dalam pertandingan itu.
Itu adalah sikap-sikap yang sangat Mou. Ia mencari alasan-alasan diluar pertandingan. Mengalihkan kenyataan dengan mencuatkan isu-isu yang tidak relevan—komentar ambigu tentang Messi yang harus terkena kartu merah. Baginya tidak ada alasan Madrid untuk kalah, selain keberuntungan. Mungkin sikap seperti inilah yang dibutuhkan publik Madrid untuk mengalihkan rasa sakit setelah melihat Barca terus berevolusi menjadi salah satu yang terbaik dalam sejarah.
Sikapnya yang berganti-ganti sebelum dan sesudan classico menunjukkan adanya sedikit kegelisahan dari seseoarang yang datang ke Madrid dengan kepercayaan diri. Setelah melihatnya linglung di lapangan dan bagaimana bereaksi di hadapan wartawan, saya lantas berpikir, pertanyaan tentang kenapa dan kenapa yang sering ia berikan secara berulang, lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri. Por qué Mou? por qué Mou?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Por Qué Mou?"
Posting Komentar