Oleh Darmanto Simaepa
Apa yang terasa busuk dan buruk dari sepakbola Indonesia hari-hari ini adalahnya direnggutnya harapan jutaan orang atas permainan ini. Sepakbola memberi apa yang tidak diberikan pemimpin republik atau para politisi. Yakni, suatu visi sosial tertentu yang membuat orang merasa terhubung sebagai warga negeri. Melebihi segalanya, bahkan pesta demokrasi sekalipun, dalam sejarah kontemporer Indonesia, sepakbola adalah suatu peristiwa dimana kegembiraan dan kesedihan bisa dirasakan rakyat secara bersama—tanpa membedakan Anda Batak atau Papua, Islam atau tak percaya agama, nelayan melarat atau pengusaha kaya, remaja atau orang tua.
Para bajingan dan pemburu rente telah membajak kompetisi sepakbola untuk melampiaskan eros paling purba dalam sejarah kemanusiaan: hasrat berkuasa. Lebih dari sekadar gunjingan penggerutu yang mengatakan sepakbola telah digunakan sebagai mesin politik, pertarungan antar Liga, sekarang ini, telah berubah menjadi perang panjang tanpa aturan dan kendali. Motif-motif yang menggerakan para cartolas ini bukan lagi konspirasi partai atau akumulasi pundi-pundi.
Kompetisi digunakan sebagai alat untuk menunjukkan apakah buaya atau harimau yang paling berkuasa dalam rimba raya sepakbola. Pilihan Liga yang tersedia tidak lagi ditujukan untuk menjajakan layanan pertandingan yang bisa dipilih publik dengan akal sehat secara dewasa. Jika saya boleh menyebut nama, rejim PSSI lama dan baru (a.k.a Bakrie vs Panigoro) terjebak dalam sebuah pertempuran penghabisan ala Hemingway—mungkin sebuah puputan. Mereka tidak peduli berapa uang yang akan dihabiskan, kekokohan argumentasi yang dijadikan pedoman, kaidah-kaidah dan aturan, serta persetan dengan pertaruhan kehormatan.
Sementara itu para manajer klub, malu-malu namun sangat licin dan rakus, menunggu waktu kapan donatur yang paling banyak menawarkan uang. Ibarat anjing kelaparan yang loyal kepada pemberi makan, klub-klub bergerak dari balik pintu majikan satu ke majikan yang lain, mengais-ngais recehan. Kisah Persib yang memutar arah tujuan berkompetesi selepas partai pembuka vs Semen Padang dan akhirnya bersedia menerima hukuman menunjukkan dengan jelas sikap yang menunggu kesempatan menangguk keuntungan.
Kenapa, diantara harapan yang semakin mengabut dan ‘tragedi’ PSSI, saya masih perlu menulis sepakbola? Apa pentingnya, toh ada tidak ada sepakbola, matahari tetap bersinar esok hari? Juga, setiap orang akan bekerja dan beraktifitas seperti biasa ada atau tanpa kompetisi?
*****
Sepakbola tidak menyelesaikan apa-apa dalam hidup ini. Anda tidak bisa berharap perubahan sosial atau perbaikan keadilan dari olahraga ini. Prestasi sepakbola juga tidak akan secara langsung berkorelasi dengan meningkatnya jaminan kesehatan, perbaikan layanan pendidikan, atau susutnya angka kemiskinan. Saya bisa mengerti jika novelis dan esais Italia, Umberto Eco, menyodorkan pertanyaan politik paling masygul dalam sepakbola, 'apa mungkin revolusi terjadi di hari Minggu ketika ada pertandingan bola?' Seseorang akan kecewa jika berharap demonstrasi dan protes bisa dimulai dari stadion—bahkan jika itu bernama Gelora Bung Karno.
Saya tidak akan keberatan jika ada orang sinis mengatakan, sepakbola bisa jadi alat meneguhkan ketidakadilan. Sangat sulit untuk tidak menyukai operan-operan pendek dan ketajaman Persipura dari televisi, meskipun hal itu hanya mungkin karena Freeport McMoran memberi kucuran kecil hasil keuntungan. Sembari tetap percaya selalu ada kekerasan, kebohongan dan ketidakadilan di bukit-bukit Grasberg milik orang Amungwe, saya tetap menonton Boaz dan Zah Rahan asyik mengecoh lawan atau cara Geral Pangkali bertahan. Saya juga bisa memuji konsistensi Pelita Jaya membina pemain muda dihadapan teman saya yang memperjuangkan hak-hak korban bencana lumpur Lapindo yang dilucuti keluarga Bakrie.
Nyaris seperti agama atau politik, sepakbola di zaman industri ini penuh paradoks dan ambivalensi. Hubungan yang aneh sepakbola, dengan katakanlah ide besar seperti nasionalisme atau kapitalisme, tidak bisa diringkus dalam sebaris kata atau sederet slogan—apalagi oleh sejumput justifikasi moral. Selain pornografi, sepakbola adalah berkah terbaik dan (mungkin) kutukan terburuk dari kapitalisme. Di satu waktu, para penonton dan publik sepakbola adalah sekawanan domba yang menjadi calon korban calo tiket atau ahli pemasaran. Namun dikali lain, gerombolan itu bisa menjadi kekuatan yang membangkitkan kembali jasad besar bernama bangsa/nasionalisme yang hampir mati.
Setidaknya, sepakbola menjadi berkah, kata seorang teman, karena menjadi penawar yang tepat bagi lagu Gloomy Sunday dan perasaan-perasaan depresi.
Sepakbola, kata penulis olah raga Irlandia Vincent Hogan, tidak menyelesaikan hal-hal penting dalam kehidupan. ‘Tapi, olahraga ini’, Hogan mempercayai, ‘dapat memancarkan seberkas sinar ke tempat yang lebih baik’. Saya akan menyebut secercah sinar itu sebagai kelegaan perasaan. Para psikolog mungkin mendefinisikannya sebagai katarsis. Setiap minggu, setiap penggemar bola punya alasan untuk murung, gembira dan memacu adrenalinnya. Saya misalnya, punya sesuatu gejala aneh setiap Barca atau Milan menghadapi pertandingan penting diakhir pekan. Sebuah perasaan tersembunyi dalam tubuh yang menggelitik, semacam rasa tak sabar menanti bagaimana pertandingan akan berlangsung dan apa hasilnya. Perasaan itu memercik dan akan menjadikan wajah berseri-seri jika tim dukungan menang.
*********
Tidak semua orang beruntung lahir, tumbuh dan hidup dengan bahagia. Tidak setiap waktu, madu dunia bisa dicecap orang kebanyakan. Tapi semua tahu, penderitaan selalu sulit ditanggung sendirian.
Hari-hari ini di sebuah negeri, kita melihat pemimpin tidak lagi memberi visi dan inspirasi bagi rakyatnya untuk mewujudkan cita-cita negara-bangsa. Para tentara dan polisi dengan beringas membunuh para petani Mesuji namun tiba-tiba seperti kucing kudisan yang lapar-kehujanan ketika bertikai dengan negeri tetangga soal teritori. Bank-bank, institusi bisnis dan lembaga keuangan adalah semacam kasino raksasa, dimana para pejabat tinggi dan pengusaha adalah para bandar dan pemainnya. Partai politik dan Gedung Perwakilan Rakyat seperti pasar gelap dimana hukum dan UU adalah barang dagangan yang paling diminati. Sementara para birokrat dari kelas teri hingga eselon tinggi adalah pemburu rente yang mengeruk pajak rakyat untuk akumulasi harta keluarga sendiri.
Laporan koran dan kisah-kisah di media massa hanyalah sekadar kelebat rekaman peristiwa yang jauh lebih rumit dan palsu dari versi ratap tangis yang sesungguhnya. Berita-berita hanya semakin menambah rasa kehilangan dari apa-apa yang telah diambil dari kita dalam kehidupan nyata. Diskusi-diskusi, yang katanya kritis, hanyalah tempat menenangkan diri, berbagi penderitaan, dan bertukar informasi tanpa kedalaman pengetahuan dan ketajaman argumentasi. Negeri ini jatuh di dalam perut tersembunyi, dimana kemarahan dan depresi tak dapat dikenali, kebaikan dan tanggung jawab ditelan kegelapan, dan tempat hantu-hantu sejarah kegagalan datang silih berganti.
Saya masih percaya, sepakbola bisa menjadi suaka untuk melarikan diri dari momen-momen penderitaan. Stadion dan siaran televisi adalah sanktuari untuk mendapatkan sedikit hiburan dan kelegaan diantara nasib pahit dan getir kehidupan. Menang-kalah sangatlah penting, tapi itu bukan segalanya. Kita sudah berulang kali menjadi saksi: ketika timnas melangkah ke final dan akhirnya kalah, jutaan rakyat bisa menerima dengan besar hati—tanpa rusuh dan anarki. Bahkan arus yang menggetarkan itu mampu membuat orang tua dua penonton yang mati di stadion GBK rela anaknya menjadi martir atas bangkitnya sebuah harapan yang diberikan sepakbola.
Dengan segala antusiasme dan harapan, penerimaan atas kegagalan tim SEA Games dan AFF 2010 bukan hanya sekadar perayaan atas sepakbola—kemenangan hati atas hasrat dan ambisi meraih piala. Di momen itu, rakyat Indonesia merasa dan bersyukur bahwa setidaknya masih memiliki sebuah tim yang bermain dengan kesungguhan, kerja keras, pengorbanan dan hati besar. Permohonan maaf pelatih Rahmad Darmawan dan sikap para pemain memperlihatkan tim itu sangat peduli dengan harapan dan impian jutaan orang. Sepakbola, pada momen tertentu, menjadi tempat pelestarian dari sedikit hal-hal kebaikan—semangat, antusiasme, rela berkorban—yang telah punah dari negeri ini.
Mungkin ada penjelasan mengenai ini. Meskipun telah berganti rupa di era industri, sepakbola—dan mungkin dibanyak olahraga lainnya—memberikan Anda sebuah pelajaran tentang sebuah karakter. Sepakbola juga dapat menjadi tempat untuk mengukur seberapa besar hati dan kebesaran jiwa anda. Permainan ini berlimpah dengan nilai-nilai dan merupakan jendela kecil untuk melihat kompleksitas kehidupan. Kerja sama tim, etos kerja keras, peduli terhadap teman, persaingan sekaligus respek pada lawan, fair play, kejujuran sekaligus kecerdikan dan kelicikan, serta ambisi adalah bagian yang tak terpisahkan. Sepakbola juga menjajakan banyak kemungkinan dari perasaan dingin hati, pragmatisme, ketekunan, kejeniusan, persiapan yang matang seperti dalam taktik Mourinho dan juga menjadi cermin dari kebuasan dan kebrutalan yang bisa dicontohkan oleh permainan ala Paolo Montero.
Ironisnya, publik Indonesia mendapatkan sampah paling busuk dari wajah sepakbola. Kompetisi tidak ditujukan untuk menjalankan mandat kekuasaan tetapi digunakan menunjukkan kekuasaan secara telanjang. Bukan pemain yang bertanding dan bersaing untuk meraih piala, tetapi para begundal yang menggerakkan kompetisi demi kekuasaan. Perang kata-kata yang sangat tidak dewasa di media antara La Nyala, Johar Arifin, dan Saleh Mukaddar adalah bagian kecil dari gejala-gejala polusi ini.
Apa yang terjadi dalam kecamuk penyelenggaraan sepakbola Indonesia adalah kekerdilan hati dan rusaknya jiwa-jiwa olahraga. Kita tidak melihat elegansi, respek, atau permainan yang mengakui kehebatan lawan. Tulisan ‘my game is fair play’ di bendera kuning yang dibawa anak-anak kecil ke tengah lapangan menjelang pertandingan—baik di IPL dan ISL—tidak hanya sebuah ironi, tetapi juga sebentuk pelecehan akal sehat terhadap prinsip-prinsip yang digemakan dalam kampanye sepakbola.
Sangat mudah untuk ditebak dan diraba, persaingan kompetisi IPL vs ISL digunakan sebagai medan pertarungan: bukan persaingan. Mmmmmh, mungkin juga terjadi persaingan disana, tapi sebuah persaingan yang meletakkan menang-kalah sebagai kebajikan utama. Tepat disini, jangankan sepakbola dan harapan yang dimenangkan, saya yakin, dengan mengambil puputan, para begundal itu pun akan tersungkur semuanya. Pertarungan yang disetir dari balik bilik hotel atau beranda keluarga para pengusaha yang melumuri roda kompetisi hanya akan melahirkan kepecundangan yang harus ditanggung para pemain berbakat dan penonton setia dan rakyat negeri ini.
Saya tidak sedang membela ISL dan mengecilkan peran IPL—atau sebaliknya. Namun, sebagai penonton yang waras, jelas ISL jauh lebih siap. Sebagian besar pemain terbaik Indonesia berada di liga ini. Secara manajemen, satu liga jauh lebih siap menangani detail-detail pertandingan dan yang lain hanya besar kata-kata di media dan tidak bergigi saat hari H tiba. Sebagaimana ditunjukkan oleh puluhan ribu yang datang ke stadion, salah satu liga jauh memberikan hiburan. Namun, sebagus apapun kompetisi, apa artinya jika tidak ada peluang harapan untuk pergi ke level yang lebih tinggi di Asia? Dengan kaburnya sistem penjenjangan dan degradasi, bagaimana mungkin ada mentalitas kompetitif?
Lalu para pemain-pemain dilarang untuk bermain tim nasionalnya jika bermain di liga yang tidak dikehendaki. Dengan melarang pemain di liga tertentu menggunakan kostum garuda, harapan untuk melihat timnas diisi pemain terbaik di negeri ini seperti kandas dikarang-karang pemikiran yang sangat dangkal. Lebih dari 80% pemain yang pernah berkaus merah putih ada di liga tak resmi. Ancaman dan hukuman bagi pemain diluar liga yang direstui menunjukkan sepakbola bukan lagi bahasa olahraga tetapi bahasa kekuasaan.
******
Bertahun-tahun yang lalu, Rezim Nurdin memiliki visi sepakbola Indonesia akan berlaga di piala dunia. Beberapa bulan yang lalu rejim Djohar Arifin juga mengeluarkan visi akan membawa Indonesia bermain dan berfilosofi seperti Belanda—dan pada gilirannya akan berbicara di level dunia. Namun yang kita dapatkan adalah segumpal sampah yang terpaksa kita mencium semua bau busuknya.
Kita belum tahu siapa yang menang, tapi jelas yang hilang dari sepakbola Indonesia hari-hari ini adalah harapan. Gestur tubuh dan sikap Rahmad Darmawan telah mengatakan segalanya. ‘Para pemain,’ kata Rahmad, ‘akan menjadi korban dari dualisme ini’. Saya sepakat dengan pilihannya mundur dan tidak terlibat dengan PSSI. Sikap ini adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukan oleh orang yang punya hati untuk sepakbola.
Namun lebih dari apa yang dikatakan coach Rahmad, bukan hanya pemain yang akan menjadi korban dari kekisruhan liga ini. Harapan jutaan orang untuk menikmati sedikit kebahagiaan dari republik ini—yang hanya bisa dipenuhi oleh momen-momen sepakbola—telah dipadamkan dan terkunci dibalik permusuhan kekanak-kanakan, kabur tujuan, dan hanya mengejar fatamorgana kekuasaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Yang Direnggut Dari Sepakbola Kita"
Posting Komentar