Brazil Sedang Menemukan Dirinya Kembali*

Oleh   Darmanto Simaepa

“Sepakbola membantu Brazil menemukan dirinya sendiri dan membuat dunia menemukannya,” Nelson Rodrigues, penulis naskah lakon kenamaan Brazil era 1950-an, pernah bilang.

Itu bermula setengah abad yang lewat. Di Piala Dunia 1950, Brazil muda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah negara yang modern, penuh ambisi dan percaya diri. Empat tahun sebelumnya, mereka melahirkan konstitusi demokratik untuk mengakhiri kediktaturan selama masa perang dunia ke dua.

Optimisme dan kebaruan membutuhkan simbol. Ukuran sangat penting mengingat Brazil adalah negara besar dengan pantai lebar, sungai besar, hutan hujan tropis raksasa. Mereka sudah punya patung Yesus paling besar. Namun mereka membutuhkan simbol baru. Untuk itulah mereka membangun stadion terbesar di dunia: Maracana.

Maracana menyembul ke udara, berdiri gagah di antara pemukiman kumuh. Ia mewakili patriotisme baru Brazil. Ia tidak hanya menunjukkan ambisi Brazil, tetapi juga meletakkan Brazil di tengah percaturan dunia. Sepuluh ribu lebih pekerja memburuh siang malam untuk menyelesaikan stadion dalam waktu dua tahun.

Hasil-hasil di babak pendahuluan memberi keyakinan bahwa tidak mungkin Brazil tidak juara. Bahkan, sebelum pertandingan mulai, Walikota Rio de Janairo mendeklarasikan bahwa medali telah dihitung dan Piala Dunia hanya tinggal diserahkan kepada Augusto, kapten Brazil.

Namun, gol Alcides Ghiggia menyadarkan mereka adalah negara yang muda, rentan, dan gampang putus asa.  Kekalahan yang dikenang sebagai tragedi Maracana (Maracanazo) itu luka sejarah Brazil yang tak tersembuhkan.  

Sepakbola memberi mereka sebuah kutukan. Maracanazo adalah aib kolektif sehingga tak ada satupun orang Brazil yang terbebas dari kutukannya. ‘Seperti bom atom Hiroshima,’ kata Rodriguez, ‘setiap orang mengingatnya, setiap hati terluka.’

Namun sepakbola juga memberi penebusan. Lewat kemenangan di Piala Dunia 1958, 1962, dan 1970, Brazil menemukan dirinya kembali. Tak hanya sepakbola menghasilkan pemain-pemain dan tim terbaik, ia juga mendefinisikan Brazil sebagai sebuah bangsa.

Tak ada satupun negara di dunia yang diidentikan dengan satu cabang olahraga kecuali Brazil dengan sepakbola. Begitu pentingnya sepakbola bagi Brazil, ia tak pernah sekadar sebagai olah raga. Sepakbola adalah gambaran dari cara orang Brazil menjalani hidupnya.

Pemain lahir dan melatih ketrampilan di jalanan sempit favela. Mereka berlari kencang ke seluruh penjuru dunia untuk meninggalkan kemiskinan yang mendera. Gocekan ritmik dan trik cerdik mengelabui lawan didapat dari musik samba dan seni bela diri capoeira, keahlian yang harus mereka pelajari dan kuasai untuk bisa berkelit dan bertahan dari hidup yang brutal.

Sepakbola memberi jalan keluar, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi sisi hitam kehidupan. Para cartolas menguasai klub dan federasi, memeras tenaga pemain seperti pemilik perkebunan tebu memeras buruhnya. Kompetisi dijalankan seperti bisnis gelap di mana para mafia tengik mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Sepakbola adalah sarana untuk membangun karir sebagai politisi, sarang praktik-praktik korupsi, namun juga medium untuk menampilkan diri sebagai orang suci.

Orang Brazil menyebutnya futebol-arte. Sepakbola sebagai seni. Dunia pun mengenal jogo bonito. Secara metaforis sepakbola cerminan dari seni kehidupan—dengan sisi terang dan sisi gelapnya. Bukan kebetulan jika sejarah sepakbola Brazil berkait berkelindan dengan lika-liku sejarah kolektif mereka sebagai bangsa.  

*****

Sepakbola kontemporer Brazil dipaksa menemukan diri mereka sendiri kembali. Ini setelah mereka mengalami Mineirazo, Hiroshima sepakbola kedua Brazil, yang daya rusaknya tak kalah dibanding Maracanazo.

Seperti tahun 1950, Piala Dunia 2014 adalah wajah Brazil yang percaya diri dan optimis. Kekuasaan Partai Buruh di bawah Lula da Silva meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Gerakan rakyat menguat. Industri menggeliat. Ekspor komoditi meningkat. Bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, Brazil menjadi kekuatan baru dunia.

Dillma Rousseff mencapai puncak popularitasnya (dan sedikit protes) menjelang Piala Dunia dan terpilih kembali setelahnya. Gencarnya investasi, tingginya kunjungan wisatawan, meningkatnya transaksi pemain, dan bergairahnya industri sepakbola domestik mengikuti keajaiban ekonomi Brazil.

Optimisme Brazil sebagai negara besar, modern, dan kuat menggema kembali. Tujuh stadion baru dibangun megah, sementara yang lama direnovasi dan diberi warna berani—kuning, hijau, biru—warna-warna yang mewakili bangsa Brazil. Bahkan, mereka percaya diri bahwa dunia akan pergi ke stadion megah di belantara hutan Amazon.

Namun, Piala Dunia kembali menjadi alegori bagi tragedi politik. Kemegahan stadion dan optimisme penyambutannya mengaburkan kerentanan ekonomi yang bersandar pada ekspor komoditi mentah dan upah kerja rendah. Kegagahan stadion-stadion baru seakan-akan menutupi budaya korupsi. Kemakmuran yang digambarkan mengalihkan kesenjangan dan kerentanan.

Kekalahan 1-7 dari Jerman di Estadio Mineiras, Belo Horizonte memberi mereka bom atom sepakbola ke dua. Brazil, sekali lagi, menemukan mereka sebagai bangsa pecundang, rapuh dan rentan. Tim yang konon punya skuad pertahanan terbaik dunia—David Luiz, Thiago Silva, Dani Alves, Marcelo/Felipe Luiz, Julio Cezar (semuanya finalis Liga Champions dan juara di liga domestik Eropa)—luluh lantak.

Banyak pakar meramalkan Mineirazo akan menggoncang sendi-sendi sepakbola Brazil dan akan butuh waktu lama bagi pemain Brazil untuk pulih dari derita. Kegagalan Selecao di Copa America Centenary Amerika menunjukkan kekalahan di Mineiras itu telah menghancurkan sepakbola Brazil. Paling tidak satu piala Dunia atau satu generasi timnas dibutuhkan untuk lepas dari Mineirazo.

Tragedi Mineirazoparalel dengan gempa politik Brazil. Ketika bangsa Brazil murung tak berkesudahan, popularitas rezim Dilma Roussef mulai dipertanyakan. Retorika kekuatan ekonomi baru dunia dibangun di atas praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Sebulan setelah Dunga diturunkan dari kursi kepelatihan setelah gagal di Amerika, Dilma dimakzulkan dari kursi kepresidenan.

Namun, seperti gerakan tak terduga Garrincha atau Ronaldinho, Brazil selalu menghadiahi kita kejutan.

Kejutan itu bernama Tite. Tidak seperti prediksi para ahli, Ia hanya butuh 9 bulan untuk membuat sepakbola dan rakyat Brazil seperti terlahir kembali. Delapan kemenangan beruntun di kualifikasi piala dunia yang dicapai dengan permainan menghibur, menyerang dan produktif seperti telah berhasil menghalau hantu Mineirazo.

Di tangan Tite, Brazil seperti tak mengalami trauma besar. Justru, mereka menunjukkan 
bahwa Brazil masih menjadi pemilik futebol-arte. Selecao bermain lepas, mengalir seperti irama samba, dan tidak gentar menghadapi tantangan, bahkan saat menghadapi tim-tim keras dan menekan, seperti Uruguay dan Paraguay. Ia berhasil meracik kedisiplinan pemain belakang, ketenangan gelandang dan kegesitan pemain depan.

Lewat kemenangan 4-1 lawan Uruguay, kita menyaksikan Brazil yang menemukan dirinya kembali. Pemain Brazil menemukan bahwa mereka adalah tim yang menari di atas lapangan. Dan duniapun menemukan imaji tentang Brazil kembali. Brazil yang cantik, riang dan menang.

Metamorfosis Brazil dapat direfleksikan dari transformasi Neymar. Ia seperti keluar dari kepompong yang selama ini membebatnya. Seperti kupu-kupu, ia bermain lepas, tampak dewasa dan mewarnai lapangan. Tak ada umpan yang meluncur sia-sia. Tak ada aksi pura-pura. Ia juga bermain tanpa rasa takut, selalu menciptakan ruang, dan sangat berbahaya.

Tentu saja, masih awal untuk menyimpulkan bahwa Tite telah membantu Brazil menemukan identitas sepak bolanya kembali. Perjalanan masih panjang. Namun, sejauh dia meyakinkan bahwa setiap pemain Brazil bergerak seperti penari samba sambil terus menghasilkan kemenangan, Brazil boleh optimis tak perlu waktu lama menemukan dirinya kembali sebagai bangsa yang melahirkan futebol-arte.

Kini, kaki mereka sudah berada di Rusia. Untuk menemukan kembali diri mereka sepenuhnya dan membantu dunia menemukannya, Tite dan timnya harus membuktikan bahwa, tak seperti tim-tim Brazil sebelumnya yang hebat di babak kaulifikasi tapi gagal bersinar di babak final, Brazil siap menebus duka-nestapa Mineirazo dengan membawa pulang Hexa Campeon!

* Dimuat di Jawa Pos, Selasa 4 Maret 2017, dengan modifikasi seperlunya. 


Related Posts:

0 Response to "Brazil Sedang Menemukan Dirinya Kembali*"

Posting Komentar