Usai Enam Satu

Oleh Darmanto Simaepa

Hanya Tuhan yang punya imajinasi, MU bisa kalah enam-satu di Old Trafford dari City. Saya tak pernah mendengar orang suci, penderita skizofrenia, atau bandar judi paling berani menebak marjin angka hingga lima. Bukannya sepakbola penuh dengan kemungkinan? Itu tidak usah diragukan. Pemuja fanatik si Merah pasti khawatir timnya bisa saja kalah. Fans paling pesimis dan kurang percaya diri si Biru pasti punya harapan liar timnya menang pertandingan. Namun, komet Halley hanya terlihat 79 tahun sekali. Dan itu agaknya tidak akan melintas waktu dekat ini.

Begitulah. Kadang sepakbola memberi kita kejutan akhir pekan. MU sudah lama tidak pernah kalah dengan cara begini. Anda boleh menggunakan statistik. Halaman sejarah boleh ditilik. Tentu saja, dalam derby, MU mungkin pernah lebih buruk. Tetapi, sebuah kekalahan tidak pernah bisa dibandingkan. Tidak pernah. Tidak semenyakitkan ini. Tidak semengejutkan ini. Lagi pula itu sudah lama sekali.

Di konferensi pers, Fletcher bilang, ‘kita akan segera bangkit. Ini rasanya sama kalah dengan 0-1,’. Pernyataan Fletcher tidak menggambarkan sebenarnya. Dia sedang ingin menghibur diri. Melalui ESPN, Fergie menyatakan, sabtu sore itu adalah ‘hari terburuk dalam hidupnya’. Baru sekali ia merasakan kalah 1-6 di Old Trafford. Bahkan ia tidak ingat apakah pernah kalah setelak ini semasa bermain. Tahun 1989, MU kalah 5-0 di Maine Road. Waktu itu, MU bukanlah siapa-siapa. Di akhir kompetisi MU ada di no. 14 dan City no 7. Itu kekalahan tidak dikandang sendiri. Juga, belum disaksikan ratusan juta penduduk dunia. Sesaat setelah pertandingan itu, Fergie langsung pulang membenamkan kepalanya di bawah bantal berhari-hari.

Oh ya, masih ada satu lagi kekalahan yang tidak pernah dilupakan Fergie. Kekalahan itu didapatkan MU dari Barca di Nou Camp. Kejadiannya terjadi 17 tahun lalu. Saat itu—dengan Stoichkov, Romario, Laudrup, Guardiola, Zubizaretta dan Koeman—Barca di bawah Cruijff adalah tim terbaik dunia. Edisi Maret 2011, Fourfourtwo mengenang pertandingan itu dengan penuh nostalgia. Babak knock-out Liga Champions yang menyisakan banyak trauma. Dua minggu sebelumnya, mereka bermain imbang 2-2 di Old Trafford.

Nou Camp bagaikan neraka bagi Garry Pallister. Bek raksasa itu menyatakan, ‘aku frustasi sepanjang laga. Aku tidak pernah melihat tim sebaik itu. Aku tidak pernah bisa mengambil bola dari kaki mereka. Inilah satu-satunya pertandingan yang aku ceritakan kepada anakku tanpa rasa bangga,’. Steve Bruce, kapten tim, berkata, ‘Saya mengerti bagaimana sulitnya Vidic dan Rio menghadapi Messi dan Xavi’, ketika berusaha membandingkan dengan kekalahan MU di Final Champion tahun ini, ‘tapi saat itu, kami bahkan tidak tahu harus berbuat apa-apa’.

Melihat tayangan ulang pertandingan itu, pemain MU seperti kehilangan akal melihat pergerakan pemain Barca. Skor 4-0 tidak menggambarkan keseluruhan pertandingan. Statistik belum secanggih sekarang. Kita tidak pernah tahu berapa data penguasaan bola dan operan keduanya. Hanya saja kita bisa menerka dari bagaimana Eric Cantona bereaksi terhadapnya. Ia begitu marah terhadap dirinya sendiri karena tidak mampu mengimbangi gelandang Barca. Konon, kekalahan inilah yang mengubah pendekatan Fergie terhadap kejuaraan Eropa.

Sejak itu, MU tidak pernah kalah dengan cara memedihkan.

******

Mengakui kehebatan lawan tidak mengobati kegusaran. Mengecam kecerobohan Evans semakin menambah pedih ingatan. Melihat lagi angkanya, kepala anda seperti sedang dihantam badai paling buruk di lautan. Saya tidak tahu bagaimana cara pendukung MU akan menanggungnya. Olok-olok atas kekalahan ini akan bertahan sangat lama. Media-media Inggris membuat lelucon memedihkan di headline-nya. ‘They Feel Six’, ‘Six in the City’ atau ‘Six-pens on the Richter’. Jelas kekalahan itu bukan lagi gema enam Magnitudo.

Sama seperti penggemar MU lain, saya sulit mempercayai skor akhirnya. Awalnya, saya cukup percaya diri, ketika Koen Meyers, teman dari Belgia, bertaruh dua botol Corona untuk kemenangan City. Dia sebetulnya fans MU, tapi karena Kompany—sama-sama dari Belgia dan lahir di Kongo—bermain di City, dia segera beralih pegangan. Kami menonton bareng di sebuah bar dekat jalan Pajajaran, Bogor. Suasana ramai. Awal-awal pertandingan, sorak-sorai pendukung MU lebih dominan.

Pertandingan berimbang meski penguasaan dan peluang memihak lawan. Itu biasa bagi MU di babak pertama. Lalu, gol elegan Balotelli. Ini sedikit mengubah cuaca pertandingan. SMS dari pembenci MU mulai datang. Ada dari Yogya, Padang, Mentawai, dan satu dari Belanda. Ejekan mulai menghampiri. Suasana di bar semakin menghangat. Fans City mulai berani bernyanyi dan memaki. Seseorang mulai berkeringat dingin. Babak pertama selesai, saya masih bisa membela diri. Beberapa sms bernada ejekan bisa dibalas dengan nada tenang. Pertandingan belum usai. Anda bisa berharap kecepatan Chicarito akan mengubah irama permainan. Atau kejeniusan Nani di piala Carling Nani akan berulang lagi. Kentang goreng sedikit mengalihkan perhatian.

Setelah kebodohan Evans, kartu merah itu membunuh MU. SMS datang bertubi-tubi. Rasa frustasi mulai datang. Hanya sayap ayam goreng dan alkohol yang menjadi penenang. OK, permainan berlanjut. Ada pesan masuk mengatakan, pertandingan telah berakhir dan matikanlah televisi. Saya membalasnya, masih ada harapan untuk hal-hal yang kita cintai. Tapi harapan mulai menjadi tragedi. Balotelli kembali. Lalu Kun, Silva, dan Dzeko. Saya tidak bisa lagi menelan ludah. Gol cantik Fletcher hanya sebuah jeda untuk menarik napas sebelum anda tenggelam. Sepanjang babak kedua, anda hanya menahan kesabaran. Meski hari gerimis, saya bersikeras untuk pulang. Hujan air jauh lebih bisa diterima dari pada hujan cemoohan dari tetangga berisik yang dimabuk kemenangan.

Setiap kekecewaan selalu membutuhkan penjelasan.

Analis sering mengatakan, MU selalu bermasalah dengan kiper. Jika Fergi menemukan figur penjaga gawang yang tepat , MU akan berada di jalur kemenangan. Itu benar, sejauh gelandang tengah tidak punya masalah. Jika kita melihat kekalahan dari Barca atau City, jelas, masalah MU bukan kiper.

Kehilangan terbesar dari permainan MU adalah gelandang berkarakter kuat. Gelandang ini sangat vital dalam skema 4-4-2 yang mengandalkan permainan melebar dan serangan sayap. Terbentuk sejak era Busby, MU selalu memiliki gelandang jangkar petarung yang hebat. Pemain ini tidak begitu produktif atau brilian. Tapi ia seorang ball winner, memiliki kekuatan berlari dari kotak penalti-ke kotak penalti untuk memulai serangan dan menangkal serangan balik. Gelandang ini beroperasi ditengah untuk membuat pemain sayap berkonsentrasi menuju sudut lapangan dan mengirim umpan.

MU bukanlah tim yang mewarisi cara bermain dengan penguasaan bola atau kekuatan mengatur irama. Setan merah bukan tim yang menjadi rumah bagi Fantasista. Gazza sudah menandatangani pra-kontrak, meskipun batal. Ronaldinho, sebelum mendarat di Nou Camp, nyaris mampir. Raul pernah ditaksir. Begitu juga Kaka. Namun Fergie jauh lebih paham, permainan MU lebih banyak mengandalkan karakter dan determinasi. Bukan seni dan menghibur diri. Jika Cantona dianggap playmaker, dia bukan jenis seniman mudah murung hati dan lemah gemulai.

Fergie tidak pernah menyesal gagal bekerja dengan para seniman besar sepakbola. Masa kejayaan MU dipenuhi gelandang keringat, lutut luka dan determinasi. Denis Law, Duncan Edward, Boby Charlton, Bryan Robson, Paul Ince, atau Keane. Tentu anda bisa bertanya, diparuh akhir 2000-an, setelah tanpa Keane, mengapa MU bisa meraih gelar liga berturut tiga kali dan Champions? Itu karena tertolong ‘faktor Ronaldo’ dan pengorbanan Rooney. Di masa-masa itu, sisa-sia tenaga dan imajinasi Scholesy bisa ditransformasikan menjadi gelandang bertahan. Keterampilan melindungi bola dan lari kijangnya Giggsy dirubah jadi pengatur serangan. Ia bermain jauh lebih ke dalam agar Wazza bisa memainkan banyak peranan.

Sudah lama ssaya merasakan MU tidak bermain dengan cara sesungguhnya. Tidak banyak fantasi dan kreasi, tapi penuh determinasi. Tidak elegan tetapi memberi banyak tekanan. Tidak gemulai tetapi penuh dengan pengorbanan. Sudah lama Fergie mengakui MU tidak bermain dengan gayanya. “Dalam beberapa tahun terakhir, kami dikiritik tidak bermain cara kami sendiri. Ya, saya juga merasa ada perbedaan kami bermain dengan 15 tahun saya menanganinya,’ ucapnya saat diwawancarai The Guardian pasca Ancelotti memberi gelar bagi Chelsea. Tahun kemarin, MU bisa juara bukan karena tradisi permainannya yang hebat. Ini lebih karena para lawannya bermain jauh lebih jelek dan tidak konsisten.

Kehilangan cara bermain ini, saya rasa sejak MU ditinggalkan Keane. Fergie sudah terbiasa kehilangan Poborsky, Beckham, Stam, Hughes, Strachan, Nistelrooy atau Ronaldo, tapi ia jelas tidak mudah mendapat ganti pemain yang besar hati ala Robson atau orang gila dari Cork itu. MU telah mencoba banyak gelandang tengah. Kleberson, Djemba-Jemba, Hargreaves, Veron, dan sekarang Anderson. Tetapi tidak ada satupun yang berhasil.

Ada kemiripan dalam kekalahan MU dari Barca atau City. Lawan begitu mudah mengambil kendali. Irama permainan ditentukan permainan satu dua sentuhan dari pihak seberang. Gelandang MU mudah kehilangan bola dan posisi sementara Rooney terlihat Frustasi. Serangan balik tidak bisa berjalan, karena ketika transisi menyerang, para gelandang mudah kehilangan bola dan berjauhan. Kehilangan determinasi ditengah, inilah penyebab David Silva bisa mengiris pertahanan MU. Ia begitu leluasa bergerak ke kanan dan ke kiri. Tanpa gelandang sekuat Keane di jantung kedalaman, Xavi, Iniesta dan Messi membuat para pemain MU seperti baru belajar menyepak bola.

Tentu saja Fergie sudah lama memahami masalah ini. Ini menjelaskan kenapa ia ngotot membeli Sneijder. Rumor media menyatakan ia pernah menghubungi Munich untuk mendatangkan Schwenie. Vucinic, Lassana Diarra, Nasri pernah ada dalam radar. Jeda musim dingin nanti ia berusaha mendatangkan Javi Garcia dari Benfica. Hasil-hasil bagus di awal membuatnya merasa yakin, skuad ini mampu bertahan dalam kompetisi. Berkali-kali ia mengatakan tidak butuh gelandang lagi. Saya sangat yakin, setelah rasa malu ini, ia akan merevisi gagasannya sendiri. Kalau boleh menilai, yang dibutuhkan MU adalah gelandang seperti Modric atau Schwenie. Ia bisa nyaman dengan bola dan bermain penuh determinasi. Ia bisa menjelajahi lapangan tengah dan menendang bola dari kaki kanan dan kiri. Pemain yang bisa menjemput bola sekaligus mendistribusikannya.

Selain penjelasan, setiap penggemar membutuhkan pembelaan.

Anda tidak bisa mengubah hasil pertandingan. Anda hanya bisa menerimanya. Derita ini lebih mudah diterima bila ada pembelaan. Baiklah, 6-1 adalah skor horor. Itu akan menghantui beberapa generasi pendukung MU dimanapun berada.

Salah seorang teman mengatakan, MU dibunuh oleh mental juara yang dimilikinya. MU bisa memilih bertahan dan bermain aman. Mungkin dengan mengganti Wellbeck dengan satu pemain belakang. Berusaha menahan gempuran dan sesekali menyerang balik ketika ada kesempatan. Sebaliknya, sesudah ketinggalan dan bermain 10 orang, Fergie memainkan skema 3 striker dengan 2 gelandang. Para pemain MU bahkan kelihatan sangat bernafsu menyerang. Phil Jones sering terlibat hingga ke sayap kanan, dan Smalling menciptakan beberapa peluang. Mungkin aroma derby memompa adrenalin sehingga para pemain rela kehilangan segalanya atau mendapatkan segalanya.

Akal sehat akan mengatakan itu jelas bunuh diri. Mancini adalah orang Italia. Ia menggunakan pendekatan ala Italia untuk membunuh lawannya. Ia kadang tidak perlu menang besar atau bermain indah. Ia memiliki game-plan tersendiri. Ia akan menunggu lama. Atau Membuat pertandingan menjadi membosankan. Lantas memberi satu gol kejutan yang sangat direncanakan. Booring, booring City lebih sering terdengar dibanding ketika Mourinho mendapatkan booring, booring Chelsea. Mancini lebih cepat belajar dari kekalahan di Carling Cup. Gol-gol yang dicetak ke gawang MU setelah gol kedua jelas bukan dari ambisi untuk menghabisi, tetapi terlahir dari perhitungan irama yang terkendali. Pemain City di bawah arahan Mancini tahu kapan harus menghunus belati.

Baik. Itu dari satu sudut pandang. Yang jelas, setelah ketinggalan dan kartu merah, MU tetap bermain sepakbola sepenuh hati. Teman Belgia saya mengatakan, di Eropa, tindakan ini disebut
Pro-Football. Anda tidak menyerah. Anda menginginkan kemenangan. Anda tidak bertahan dan bangga mengatakan, ‘kami hanya kebobolan satu gol’. Anda terus bertarung, berapapun harga yang anda bayarkan. Pada titik ini, sepakbola adalah urusan hati. Ia bukan hanya urusan menang-kalah dan seberapa banyak kemasukan. Ini adalah bagaimana anda sepakbola yang anda inginkan. Pendekatan MU terhadap pertandingan itu sangat Inggris. Anda bertarung layaknya seorang Gentlemant. Itu seakan-akan adalah pertandingan terakhir yang anda mainkan. Anda mati dan terluka, tapi anda boleh bangga!

Untuk membuatnya menjadi lebih jelas, anda boleh membandingkan cara Madrid menangani kekalahan 5-0 dari Barca. Di babak pertama, Mou berusaha meladeni permainan Barca. Tetapi setelah kalah 3-0, dia segera mengganti penyerangnya dengan gelandang bertahan semua. Madrid masih bermain 11 orang—dengan 4 pemain belakang dan 6 gelandang. Meskipun ia bilang dalam suatu kesempatan, “kalah 0-1 dalam sejarah tidak berbeda dengan kalah 0-5”, dibabak kedua ,ia tidak ingin melanjutkan pertandingan. Ia tidak mau kalah lebih banyak. Ia berusaha untuk membuat pertandingan berjalan stagnan. Apa yang terjadi setelah kekalahan itu lebih buruk lagi. Dia mengganti identitas Madrid dalam usaha memenangkan el-classico. Dia memilih strategi anti-football. Pemain Madrid diinstruksikan untuk menendang, menyikut dan menginjak lawan untuk meraih kemenangan.

******

Empat bulan yang lewat, setelah kalah dari Barca, di televisi terlihat tangan Fergie bergetar. Jarang sekali ia sampai pada taraf seperti itu. Mengunyah permen karet dengan cepat sudah menjadi pertanda pak Tua ini sedang tegang. Semakin cepat ia mengunyahnya, jantungnya berdetak semakin kencang. Sesaat sebelum menghampiri Pep, Sky TV berulang kali menyorot tangan dan tubuhnya yang bergoyang. Ia menjelaskan kenapa tangannya bergetar: Ia menerima kekalahan itu sebagai tantangan. Ia menganggap Barca telah menetapkan standar permainan sepakbola. ‘Kami akan berusaha menuju ke sana,’ ujarnya setelah menyalami Guardiola.

Barcelona saat ini ada di level dimana Milan ala Sacchi, Madrid 60-an, Ajax-nya Rinus Michels 1970-an, dan Barca ditangan Cruijff pernah meraihnya. City dengan kekuatan uang minyak dan Madrid dengan para Galacticos dan Mou sedang berevolusi menuju Barca. Setahu saya, MU tidak pernah dirujuk menjadi standar permainan bola. Mungkin itu bukan DNA-nya. Sama seperti Juve, atau timnas Jerman, MU lebih memberi pedoman perihal mentalitas juara, determinasi, dan pendekatan terhadap pertandingan. Bukan kebetulan jika kali ini MU kalah dari Barca dan City. Keduanya jelas berada dilevel permainan yang hampir setara. Penguasaan bola. Lini tengah yang terus bergerak, bermutasi, dan mencari ruang. Kuncinya ada pada pengaturan tempo, permainan satu dua sentuhan, dan presisi umpan. Dan diakhiri dengan senjata mematikan.

‘Kekalahan ini akan menjadi tantangan buat saya,’. Begitu ia bereaksi terhadap kekalahan dari City. Ucapannya adalah ucapan MU. Dan dalam sejarahnya di MU, tantangan-lah yang menggerakkan hasratnya. Tantangan-lah yang membuatnya bertahan selama 25 tahun. Ketika ditunjuk sebagai manajer tahun 1986, ia menantang dirinya sendiri dengan bersumpah melewati raihan gelar Liverpool. Ia sudah menunaikannya janji, tapi tetap saja belum berhenti.

Kata-kata Fergie sekurang-kurangnya menjelaskan dua hal. Pertama, dia tidak akan mundur dalam waktu dekat. Rumor dia akan pensiun akan tetap jadi rumor. Orang seperti dia, akan mundur jika dia berhasil menaklukkan dirinya sendiri. Setelah menguasai Eropa dua kali, rumor tentang habisnya sebuah era pernah terdengar. Namun, dia menciptakan tantangan baru untuk dirinya lagi: menjadi manajer pertama yang mempertahankan piala Champion. Ia hampir melakukannya sebelum kehebatan Barca mengagalkan. Kedua, tantangan ini akan mentransformasikan kekuatan MU di masa mendatang. Selepas kalah dari Barca, gagal mendapatkan Sneijder atau Modric, ia mengubah formasi lini tengah dengan memberi keleluasaan pada Cleverly, Nani, Anderson, Rooney dan Wellbeck untuk bermain satu dua sentuhan di luar kotak penalti. Di awal-awal musim usaha ini agak berhasil sebelum cedera Cleverly, Wellbeck dan Rooney mengusik ritme yang sudah terbentuk.

Saya yakin, Fergie tengah berpikir keras untuk memperbaiki lini tengah. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Sepanjang 25 tahun, ia terlihat selalu berhasil mengatasinya. Ia akan berusaha keras membuat MU mendekati level permainan yang telah dipegang Barca. ‘Kami akan kembali selepas musim dingin nanti,’ begitu janji Fergie. Mungkin ia akan membeli gelandang yang nyaman saat menguasai bola dan mengatur ritme pertandingan. Atau ia menciptakan taktik yang berbeda. Kekalahan memalukan ini akan memberinya cara untuk membuktikan diri. Sejarah MU dibentuk oleh egonya, dan akan selalu seperti itu.

Sebagai pendukung MU, setelah rasa malu ini, saya layak berharap musim ini City tidak mendapatkan apa-apa selain kegembiraan besar dari laga derby. Itulah mengapa, seorang teman dengat tepat memparodikan kaos tulisan di kaus Balotelli, Why always MU....

Related Posts:

0 Response to "Usai Enam Satu"

Posting Komentar