*Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Oleh Darmanto Simaepa
Dalam gelombang sejarah sepakbola Indonesia, setiap janji perubahan tidak selalu membawa kita menuju arus jernih perbaikan. Sejalan dengan tikungan waktu, secercah harapan yang pernah memandu langkah ke depan ternyata berujung terperosoknya kita ke dalam rawa busuk penuh lumpur kesalahan dan kebebalan. Dua kalimat ini bukanlah estetisasi dari rasa frustasi, hanya sekadar penamaan atas gejala yang kita pahami dari komedi PSSI belakangan ini.
Keributan menjelang kompetisi, ketidakjelasan apakah Semen Padang vs Persib Bandung sebagai eksebisi atau pertandingan resmi, huru-hara pergantian Riedle dan urusan kompensasi, klub-klub memboikot liga, cek-cok pemain-pelatih tim nasional secara terbuka dimedia, rebutan hak siaran televisi, ancaman kongres luar biasa, simpang siur intepretasi atas statuta hasil kongres Bali, jumlah penonton di GBK secara drastis turun kembali, dan kekalahan beruntun tim kita tiga kali adalah peristiwa-peristiwa yang bukannya saling tak berkaitan. Ini menunjukkan semesta bagaimana sepakbola di Indonesia bergerak, ditata, dan dijalankan.
Mengapa kemelut kekanak-kanakan ini masih terjadi, sementara kompetisi sepakbola sudah lebih berusia setengah abad di negeri ini? Tak terhitung klub muncul dan mati. Kita telah mengalami pasang surut emosi dimana gelora bangsa terhadap sepakbola meninggi, melemah, membumbung tinggi, sebentar mati suri dan lantas bertransformasi nyaris menyerupai birahi. Dengan segala hormat atas geletar emosi kedaerahan yang dibawa perserikatan dan ‘profesionalisme’ liga ala Galatama, kita telah menyelenggarakan kompetisi ‘modern’ sejak 15 tahun lalu—yang ditandai oleh kemunculan Liga Dunhill Indonesia.
Dengan segala petaka dan ongkos sosial yang dibawanya, kompetisi modern Indonesia telah membawa banyak pelajaran berharga. Kompetisi pernah di hentikan gara-gara kerusuhan Mei, kalah oleh kampanye politisi, dibubarkan polisi, format yang berganti-ganti, atau dibatalkan secara semena-mena. Ada banyak peristiwa kita lalui: pemain dikeroyok, wasit masuk rumah sakit berhari-hari, suap-menyuap tak terungkap, stadion runtuh, suporter menjarah kedai-kedai.
Tentu saja masalah masih melimpah. Para pemain dibayar dari pajak petani, kita sering berjumpa dengan penalti-penalti kontroversi, dan keluhan atas kelelahan para pemain masih menghantui. Namun, sejak beberapa tahun terakhir ini, kita sudah mulai akrab dengan jadwal liga yang teratur rapi. Klub-klub mendapat uang dari hak siar televisi. Penonton bisa menerima kekalahan tidak hanya dengan rasa frustasi, emosi dan mentransformaikannya menjadi anarki. Gadis-gadis masuk stadion tidak takut diremas payudaranya oleh kerumunan tak bernama. Ibu-ibu dan anak-anak melihat kembang api di tribun penonton sebagai rekreasi.
******
Lalu lintas penuh kekacauan ini lantas memunculkan pertanyaaan yang sering berulang menghampiri, darimana kebebalan ini diawali? Barangkali ini dimulai dari gejala sosial mengenai kekuasaan yang sering salah kaprah dipahami. Dari perbincangan warung kopi, diskusi di televisi, hingga debat serius para akademisi, sulit membedakan antara kepemimpinan dan kekuasaan. Pemimpin sebagai subjek pemerintahan sering disamakan dengan penguasa yang merujuk subjek kekuasaan. Keduanya saling berkaitan tetapi seringkali berjalan tidak saling bersesuaian. Apa sangkut pautnya urusan kekuasaan dengan PSSI dan sepakbola?
Kita belum beranjak dewasa menghadapi problema tentang siapa dan bagaimana kekuasaan bermula. Kita memiliki kegemaran untuk mudah memuja para pemberani yang mendobrak rezim berkuasa. Barang siapa menyelamatkan kita dari kesesakan, dialah sang pahlawan. Impian terhadap Ratu Adil dan milleniarisme memang bukan gejala khusus orang Indonesia, tapi disini gemanya lebih keras dan terasa. Di masa lalu Ken Arok, Gadjah Mada, lalu Soekarno, Soeharto dan SBY juga...
Sebagaimana kita hafal narasinya, gejala ratu adil itu menjamur ditengah kondisi frustasi. Makin besar rasa depresi, makin kuat harapan ada sosok figur pemberani. Beberapa bulan lalu kita semua ingin sepakbola terlepas dari rezim Nurdin Halid (NH) yang konon penuh dengan dusta. Rasa sesak terhadapnya membuat kita tergopoh-gopoh menggulingkannya. Keringnya prestasi timnas, muaknya publik atas retorika, dan dugaan korupsi didalamnya menjadi minyak dalam api perjuangan untuk membebaskan sepakbola Indonesia dari cengkeraman oligarki yang dibangunnya.
Lalu entah dari mana, di sudut harapan yang tersisa, muncullah apa yang disebut sebagai kelompok Jenggala. Saya yakin, publik sepakbola tidak tahu makhluk apa yang sedang kita hadapi. Ia sosok yang diperkenalkan kepada kita secara tiba-tiba. Energi besar untuk menyepak rezim NH keluar arena sepakbola membuat kita tidak mengenali siapa dia. Pun kita tidak diberikan keahlian mengendus apa yang ganjil pada sepak terjangnya. Kita juga tidak memiliki waktu untuk mengerti apa hasratnya. Kita hanya tahu dia dari kelebat nama-nama. Arifin Panigoro, Limbong, Bob Hippy, Tri Goestoro, Johar Arifin, George Toisutta....
Motivasi adalah lautan maha luas berwarna biru dimana tersembunyi banyak palung ambisi. Memperbaiki sepakbola Indonesia adalah mantra yang gampang dirapal penjahat kelas teri. Motivasi menyingkirkan rezim NH telah menyembunyikan maksud-maksud gelap para petualang yang mengintai kursi kekuasaan. Turunnya NH dan riuh rendah suara PSSI sekarang ini mengabarkan semesta kepentingan yang ada dikepala para penjungkalnya.
*******
Meskipun demikian, ditengah sulap dan akrobat PSSI, mengapa penonton masih membanjir di stadion Siliwangi? Saat aturan liga penuh kontradiksi dan manipulasi, mengapa klub-klub masih menginginkan kompetisi? Ditengah wabah korupsi dan ancaman stadion yang tidak selesai, rakyat masih berharap timnas U-23 meraih medali? Atau lebih sublim lagi, para pengecam seperti saya tetap berharap Indonesia menang dikualifikasi? Teka tekinya ada pada gejala psikososial berikut ini.
Di dalam cuaca dimana suap-menyuap wasit, jual beli pertandingan, atau kebohongan pengurus PSSI sudah menjadi pemandangan biasa, kita tetap berharap sepakbola memberi rasa bahagia bagi jutaan orang Indonesia. Sementara pencurian umur terus dilaporkan, klub-klub memeras penghasilan rakyat melalui APBD, atau timnas U-23 dikalahkan Laos, dan program-program luar negeri yang membuang-buang uang, kita tetap berharap Indonesia maju ke putaran final Piala Dunia.
Dengan melihat gejala ini sudah cukup kita melihat bahwa betapa pentingnya sepakbola di negeri ini. Sepakbola adalah urusan umum (res publica) karena melibatkan jutaan orang, jutaan uang, dan jutaan harapan. Dari tarkam dengan trofi kambing jantan hingga kompetisi bernilai milyaran, dari acara tujuh belasan hingga perayaan natalan, sepakbola telah mengalir dalam sungai sejarah sosial negeri ini. Sepakbola bukan lagi permainan 3 lawan 3 di gang sempit Manggarai atau kegembiraan anak-anak dengan bola plastik di pantai. Ia telah menjelma menjadi entitas bisnis raksasa yang menggiurkan pengusaha, ajang perebutan mikropon bagi politisi, atau acara rekreasi bersama tiap akhir pekan bagi keluarga kelas menengah Indonesia.
Agar tidak terjebak dalam kegiatan hiburan kosong belaka atau tersuruk dalam permainan anarki, setiap res publica mensyaratkan, menghendaki dan mengandaikan adanya cita-cita yang lebih tinggi. Apa cita-cita sepakbola kita? Seringkali ini sukar dirumuskan. Kadang kita menyebut sebagai kebanggaan nasional yang menyatukan nasib-sepenanggungan bangsa. Atau dalam istilah lain, kita merasa sepakbola dapat menaikkan harkat nasionalisme. Kali lain kita menginginkan sebagai sumber kebahagiaan bersama.
Cita-cita seperti gugusan udara, terlalu mudah diraba indera tetapi tidak pernah bisa kita tangkap dan pelihara. Dalam bentuk yang paling mudah diukur, cita-cita sepakbola kita tak lain, puncaknya, adalah tampil dikejuaraan dunia, menyelenggarakan kompetisi yang sehat bebas dari korupsi; sepakbola menuju industri, menggerakkan ekonomi dan membuka lapangan kerja; klub-klub indonesia bermain dikompteisi tertinggi di Asia; dan setiap pekan hiburan tiap pekan kepada rakyat Indonesia yang sudah terhimpit banyak derita.
Seiring masa, res publica sering bercampur dengan utopia. Tidak ada yang keliru dengan kelindan keduanya. Res publica dan utopia merupakan gabungan realitas dan cita-cita. Setiap utopia merupakan refleksi kebusukan realita. Sebaliknya, kebusukan realita tidak pernah bisa ditanggung bersama tanpa adanya utopia. Ketika kita gagal meraih cita-cita, bukan utopia yang harus disalahkan atau diganti, tapi realitasnyalah yang harus diubah. Sepakbola, dalam definisi tertentu, hampir mirip dengan agama atau negara-bangsa. Ketika harapan untuk melihat sepakbola Indonesia memberi kebahagiaan atau kebanggaan semakin menjauh, bukan cita-cita sepakbolanya itu yang disalahkan, tetapi ia malah memberi legitimasi bagi pemuja/pengikut/pengurus untuk mewujudkannya.
Kecamuk mengenai PSSI adalah cermin ketidakmampuan jutaan pecinta sepakbola di Indonesia untuk mengkoordinasikan jutaan utopia menjadi realita bersama. Tentu saja tidak mungkin cita-cita terwujud tanpa ada rencana yang disepakati dan tindakan yang dikehendaki. Disinilah kita membutuhkan kepemerintahan (govermentality). Para wakil rakyat mengeluarkan UU olahraga, menyepakati anggaran, FIFA mengakui federasi, pejabat keamanan mengeluarkan ijin pertandingan. Aturan-aturan dan statuta diciptakan, pembidangan dilakukan, dan kepengurusan diciptakan agar PSSI memiliki tata kepemerintahannya sendiri. Lalu terbentuklah eksekutif dan pengurusnya yang diberi mandat rakyat Indonesia untuk membawa cita-cita itu menjadi terang sosoknya.
Tepat disinilah kita membebankan ketidakberdayaan mewujudkan cita-cita kepada sekelompok orang yang kita yakini memiliki kemampuan untuk membawa harapan menjadi kenyataan. Pembebanan itu kita tukar dengan pemberian mandat dan legitimasi. Ketika rejim Agum Gumelar gagal, kita memberikannya pada NH. Ketika NH tidak bisa bisa, kita berharap kelompok Jenggala. Terlihat, dalam setiap harapan ini, kita berusaha menaruhnya di level yang lebih tinggi. Ada semacam gerak bawah sadar bahwa kita berharap NH lebih baik dari Agum, dan kelompok Jenggala menjadi lebih baik dari pada NH.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*"
Posting Komentar