Belajar Menyukai Jerman
Oleh Owen A. McBall
Hampir semua sebutan yang lazim disematkan pada tim nasional Jerman bernada cemooh. Anda bisa menangkap hal baik dari istilah “diesel” atau “panser”? Dalam kepala saya, itu hampir seperti akronim dari “statis, membosankan, dingin”. Kalau Anda membenci Jerman, sembari membayangkan wajah Toni Schumacher, Lothar Matthaus, atau Oliver Kahn, Anda bisa tambahkan frasa: “ganas, tidak manusiawi.”
Para pendukung Jerman pasti punya sangkalan jitu soal itu. Dan karena saya bukan—atau belum jadi—bagian dari mereka, izinkanlah saya sedikit berputar-putar untuk menemukan kalimat-kalimat simpatetik bagi juara dunia yang disegani sekaligus paling ditolak ini.
+++
Jerman memulai tradisi sepakbolanya dari barak-barak tentara. Mungkin itu bisa jadi penjelasan awalnya.
Berbeda dengan kebanyakan kekuatan tradisional sepakbola, semisal Inggris, Uruguay, Argentina, Brazil, Italia, Spanyol, yang membangun fondasi sepakbolanya dari kaum pekerja, para serdadu Perang Dunia I-lah yang dianggap sebagai golongan yang berjasa memassalkan sepakbola di negeri yang sangat memuja olahraga-olahraga gimnastik ini. Klub-klub sepakbola telah berdiri di paroh akhir abad ke-19. Tahun 1850, sekelompok pekerja Inggris telah membuat klub di Dresden. Namun, hingga awal abad ke-20, sepakbola tak tampak akan jadi olahraga kebanggaan nasional Jerman—sebagaimana yang tampak seperti sekarang ini. Seperti ditulis Wolfram Pyta, permainan yang ditiru dari Inggris ini kebanyakan dimainkan secara sporadis oleh para pemuda yang enggan menggeluti atletik yang membosankan. Meningkatnya jumlah kelas menengah dan munculnya para remaja dengan waktu luang, yang memungkinkan mereka memainkan sepakbola di akhir pekan, sedikit memberi harapan olahraga ini berkembang. Namun, sepakbola malah mulai mendapat banyak pemain (dan terutama penonton) justru di kamp-kamp tentara PD I. Untuk mengusir rasa bosan kehidupan di barak, para serdadu memainkan dan menyelenggaran pertandingan-pertandingan sepakbola. Ketika perang usai, “para serdadu itu pulang ke kampung halaman masing-masing dengan membawa serta sepakbola dalam ransel mereka,” demikian kata Pyta.
Sepakbola yang disebarkan para veteran perang ini menjadi tonggak terbentuknya banyak klub dan menggelembungnya jumlah massa penggemar. Namun, hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, Jerman tetap bukan siapa-siapa dalam rimba sepakbola. Mereka cuma dianggap tim kejutan saat melaju hingga semi-final pada Piala Dunia 1934. Tersingkirnya mereka di babak awal di Olimpiade 1936, Berlin, saat jadi tuan rumah, dan mengulangi kegagalan yang sama di Piala Dunia Prancis dua tahun kemudian, menjelaskan di mana posisi Jerman dalam peta sepakbola dunia saat itu. Ketika para serdadu Hitler menguasai tak kurang dari sepertiga daratan Eropa, sepakbola Jerman malah terkucil dan cuma jadi secuil bagian dari banyak hal yang dipaku di spanduk dan pamflet-pamflet propaganda Nazi. Hingga berwindu-windu kemudian, sepakbola Jerman menderita rendah diri akut atas tetangga-tetangganya macam Austria dan terutama Hungaria.
Sepakbola baru benar-benar mendapatkan tempat istimewa—bahkan teramat istimewa—dalam diri bangsa Jerman justru tak lama setelah negeri ini hancur berkeping-keping dihajar Perang Dunia II. Saat luka yang diderita para veteran belum sembuh benar, dan malu karena kalah perang masih jadi mimpi buruk dari malam ke malam, sepakbola membangunkan Jerman dari debu perang. Adalah Miracle of Bern (Keajaiban Bern) yang jadi tugu pancangnya. Itu saat tim nasional Jerman (Barat), yang di awal turnamen dianggap tak lebih dari serombongan bekas tawanan, mampu memukul Hungaria, tim yang dijuluki Para Penyihir Magyar karena kedigdayaannya (tak terkalahkan dalam 32 pertandingan internasional), pada final Piala Dunia 1954 di Swiss.
Fakta menariknya, orang yang dianggap paling berjasa terciptanya Keajaiban di Bern itu adalah seorang bekas tentara Jerman yang lolos dari sekapan Gulag milik Soviet karena kepandaiannya bermain bola. Namanya Fritz Walter. Ialah kapten tim pertama yang mengangkat tropi Piala Dunia untuk Jerman.
+++
Usai Perang Dunia II, Jerman tak lagi menakutkan di medan perang. Bisa jadi karena mereka kini lebih suka bikin mobil daripada kapal selam. Tapi, saya menduga—Anda boleh sepakat—karena para prajurit terbaiknya kini ada di lapangan hijau dan bermain sepakbola. Di ranah itulah Jerman menggentarkan dunia.
Para pendukung Jerman mungkin saja akan membantah. Tapi, saya merasa, energi bertempur yang dipaksa-redamkan sejak kalah perang di PD II mereka pindahkan ke sepakbola. Tim mana pun bisa mengklaim kalau mereka tampil di lapangan macam prajurit di medan perang: semangat menyala-nyala, pantang menyerah, berjuang hingga titik darah penghabisan. Namun, tampaknya, di banyak turnamen besar, cuma Jerman yang secara hampir sempurna memadukan mental macam itu dengan kebugaran badan. Layaknya sekompi batalyon, mereka selalu tampak memainkan pertandingan dalam kesatuan, satu komando, satu tujuan. Senantiasa bermain rapi, minim kesalahan, taktis, klinis, Jerman adalah Der Panzer dalam arti yang nyaris denotatif.
Dan, coba perhatikan. Menyusul Fritz Walter yang benar-benar tentara, tokoh-tokoh sentral dalam skuad Jerman dari masa ke masa cenderung diasosiasikan sebagai seorang pemimpin pasukan dan bukan yang lain. Beckenbeuer pada Jerman ‘74, Rummenigge (’82), Brehme (’86), Matthaus (90), Kahn (’02), hingga Ballack (’06) adalah sosok-sosok yang, tidak bisa tidak, membuat kita membayangkan seorang panglima perang dengan tongkat komando di tangan.
Bukannya Jerman tak dikarunia pemain berjenis konduktor macam Maradona, Hagi, atau Xavi. Jelas mereka punya. Namun, pemain macam itu biasanya sayup dalam ingatan. Dengan agak mengecualikan Thomas Hasler, pemain-pemain yang nyeniman macam Mehmet Scholl, Lars Ricken, atau Fredi Bobic cuma jadi figuran dalam riwayat panjang kejayaan sepakbola Jerman. Boleh jadi, nama-nama itu memang tak cukup dibutuhkan tim. Tapi yang paling jelas, fakta berbicara, karena otot dan sendi-sendi kaki mereka tak sekuat pemain-pemain tim nasional Jerman pada umumnya. Dan, tampaknya, dalam barisan panser Jerman yang perkasa itu tak cukup celah bagi barang pecah-belah—meski itu indah.
Dengan ransel dan senapan di balik kaos Adidas para pemainnya—dan mental tentara di balik tubuh atlet mereka—Jerman membawa pulang tiga tropi Piala Dunia. Itu kesimpulan saya.
Mereka jagoan, jelas. Elegan, mungkin. Tapi mempesona, agak sulit dibayangkan. Dalam pada inilah, jika Anda bukan orang Jerman dan tidak punya masalah dengan Belanda atau Argentina atau kedua-duanya, rasa-rasanya agak susah untuk jatuh hati dengan Jerman.
+++
Lalu, Klinsmann—moncong panser paling mematikan dalam sejarah sepakbola Jerman, tukang selam yang cuma bisa dicintai oleh pendukung Stuttgart, Inter, Monaco, Spurs, Munchen, dan Jerman—muncul dengan perubahannya.
“Para pelatih bisa mengajarkan sepakbola, tapi di lapangan, sepakbola bukan olahraga yang bisa diajarkan,” demikian kata Klinsmann suatu ketika. Penjelasan paling gamblang dari kalimat itu tentu saja adalah cara dia memilih pemain di Piala Dunai 2006 dan bagaimana pemainnya memainkan sepakbola.
Dan kemudian Joachim Low menyempurnakannya.
Jogi—meneruskan apa yang dimulai Klinsi—mengisi skuadnya dengan para anak muda, dari latar belakang yang berbeda-beda, dan memainkan sepakbola menyerang yang menyenangkan. Tapi, terutama, karena ia menyiapkan panggung untuk Mesut Ozil untuk kita nikmati bersama.
Mungkin akan terdengar ngawur jika mengatakan bahwa perubahan Klinsi yang disempurnakan Jogi sukses menanggalkan kesan sangar pada tim Jerman. Gegabah juga menganggap ditunjuknya Philipp Lahm, seorang bek sayap yang bertubuh mungil dan berwajah ramah, sebagai kapten tim dengan serta-merta menandai telah usainya era para komandan di tengah lapangan. Pun terburu-buru kalau munculnya Ozil, seorang yang wajah dan gerak-geriknya mengingatkan kita pada para penari sufi, mengindikasikan kalau Jerman mau merebut Piala Dunia dengan cara Brazil atau Spanyol. Tapi, jelas, Jogi dan para pemainnya—dan sepakbola yang mereka tampilkan—membuat Jerman jauh lebih mudah untuk disukai.
+++
Argentina begitu saja tertulis dalam suratan takdir sepakbola saya. Tapi karena Argentina telah lama tidak juara dan seringkali gagal bermain baik, kebahagiaan menonton sepakbola saya biasanya berpuncak pada kekalahan Jerman. (Saya masih ingat, betapa bahagianya saat melihat Jerman dibantai Kroasia tiga gol tanpa balas di perempat final Piala Dunia 1998).
Tapi, melampaui Argentina, pertama-tama saya adalah pencinta sepakbola. Dan seperti seorang pemuja sastra yang pasti bertekuk lutut dengan Arus Balik-nya Pramoedya, saya tak bisa menolak untuk tidak menyukai Ozil.
Jika Jerman di bawah Low yang bermain indah sekaligus “membunuh”—demikian istilah seorang teman—tetap tidak membuat saya tergugah mulai untuk menyukai Jerman, sosok Ozil bisa membuat hasil akhir yang berbeda. Saya memulai kecintaan terhadap Argentina dari Maradona, menggemari Fiorentina melalui Batistuta, dan membenci United lewat Ronaldo. Saya kuatir, bocah Turki yang suka mengaji itu bisa mengantarkan saya untuk jadi pendukung Jerman. Dan karena Piala Eropa tahun depan tak mungkin ada Argentina, sementara saya tak ingin lagi Spanyol mempertahankan gelarnya dan Italia tampak terlalu kaku untuk jadi nomor satu, kekuatiran saya untuk jadi pendukung Jerman makin besar.
Ya, saya sungguh kuatir. Tulisan panjang ini bisa jadi gejala awalnya.
14-10-11
0 Response to "Belajar Menyukai Jerman"
Posting Komentar