Pesepakbola dan Penulis


Oleh Darmanto Simaepa

♯Pesepakbola 

Tidak ada orang  yang mengawali kerja (“karir”) menendang bola di usia kepala tiga. Ini berlaku untuk pemain bayaran di liga yang disiarkan televisi maupun pemain amatir di turnamen tujuh belasan.  Justru, umur tiga puluhan adalah lonceng kematian bagi pesepakbola. Coba hitung tetangga Anda yang masih mau ikut bermain di alun-alun kecamatan untuk mempertaruhkan kebanggaan desa.  Kalau tidak terserang encok dan linu, pemain senior paling antusias di desa pun di dera rasa malu bila harus berada di satu lapangan dengan anak laki-laki dan/atau disoraki anak gadisnya.

Di level yang paling tinggi, tidak banyak pemain yang masih cemerlang mengolah si kulit bundar melewati tiga dekade. Hanya pemain-pemain yang punya gen berkualitas dan hidup bagai rahib sajalah yang mampu menyeimbangkan gairah bermain, disiplin makanan dan tindakan luar lapangan, serta keterampilan menjaga badan. Seberapa banyak pemain seperti Maldini, Giggsy, atau Rogerio Ceni?

Oke, Roger Milla pertama kali menendang si kulit bundar di Indonesia ketika usianya 42. Tapi, saya ragu apakah dia sedang benar-benar bermain bola saat itu, kecuali, sedang dibayar menjadi aktor pembantu—spesialis goyang pinggul—dalam lakon setengah babak untuk menarik penonton datang ke pertunjukan di stadion yang lengang.

♯Penulis

Saya punya postulat bahwa penulis novel yang bertahan lama di Indonesia tidak akan memulai  “karir” sebelum usia 30-an. Dengan kalimat ini saya tidak sedang mengatakan bahwa semua novelis baru menulis atau menghasilkan karya pertama di usia tersebut. Sebagian besar penulis brilian menoreh kalimat pertama sejak mengenal abjad dan telah menerbitkan sejumlah buku di usia belasan.

Yang saya maksud dengan memulai “karir” di sini adalah periode memantapkan diri sebagai seorang penulis. Postulat tersebut berangkat dari gagasan bahwa setiap penulis memiliki satu periode di mana ia berada pada dilema untuk gigih menjadi penulis atau menyerah dengan keadaan.

Saya tidak sedang bilang bahwa selalu ada kegelisahan dan periode transisi dalam rite de passage seorang novelis.  Banyak penulis yang langsung yakin bahwa dia akan berhasil menjadi pengarang novel. Ada juga dari mereka yang menghasilkan novel bagus dan menjual banyak eksemplar lewat karya pertama. Paling tidak seorang yang sebelumnya kurang dikenal seperti Andre Hirata dapat keduanya.

Menulis novel boleh jadi menjanjikan kekayaan dan kemasyhuran tanpa harus melewati periode transisi. Hanya saja, seperti lagunya Hetty Koes Endang, janji itu kerap hanya menjadi janji. Sulit dibantah kalau dibanding profesi lain, ‘struktur’ dunia kepenulisan di Indonesia relatif kurang membuka ruang bagi banyak ‘agensi’ untuk berhasil menjadi penulis yang berhasil dan menjual karya bagus.

Hampir semua penulis novel harus bersiasat untuk menopang kehidupan. Dan  mereka lazim punya periode transisi sebelum akan meneruskan profesi kepenulisan sebagai sandaran hidup. Periode transisi ini setara dengan masa ketika anak-anak akademi sepakbola masuk jenjang profesional. Banyak pemain bagus saat di akademi, diklat, atau event olahraga amatir (PON, Porda), namun persentase yang lolos menjadi pemain profesional di waktu yang lama sangatlah terbatas.

Paling tidak digenerasi saya (2000-an), banyak penulis muda memulai ‘latihan’ menata paragraf, memilin cerita dan mengolah kalimat lewat tulisan 1000 kata di lembar ‘budaya’ koran minggu atau sayembara ini-itu. Sebagian di antara mereka berkibar di surat kabar sebelum masuk duapuluh.  Namun, dari semua penulis produktif itu, tidak banyak yang berhasil memantapkan diri sebagai penulis yang punya kekhasan tersendiri—secara komersial dan artistik.

Tentu saja tiap orang punya masalah dan pilihan pribadi yang tidak diketahui orang luar. Mereka juga mungkin tidak melihat profesi ini sebagai cara untuk punya karya besar, laris manis atau membuat terkenal. Banyak teman memberakan praktik menulisnya untuk kegiatan yang dipandang lebih relevan, misalnya berdemonstrasi atau aktif menggalang massa melawan ketidakadilan.

Justru karena tiap penulis punya alasan untuk tidak meneruskan ‘karir’ dan sementara semua yang ingin hendak jadi penulis tidak semua berhasil mengatasi masa ‘transisi’ membuktikan bahwa ‘agensi’ penulis tidak selalu bisa memilih sejarahnya sendiri di hadapan ‘struktur’ dunia kepenulisan.

Penulis yang bersemangat di awal masa remaja mentransformasikan semangat itu ke profesi lain ketika mulai membayangkan bagaimana membayar katering pernikahan atau tagihan listrik. Tentu saja keadaan sesungguhnya tidak sedramatik itu, tapi kita langsung ke poinnya: kegigihan menulis ditentukan justru oleh ketidakmenentuan apa yang akan diberikannya.

Bahkan penulis yang sudah menerbitkan beberapa karya sering tidak merasa yakin bahwa ia akan bertahan. Seorang Gabriel Garcia Marquez pun merasa belum yakin akan jadi penulis meskipun ia sudah menerbitkan kumpulan cerpen pertama.      

*****

♯Pesepakbola

Ada sebagian pesepakbola, yang setelah pensiun, beralih profesi menjadi penulis. Penggemar Albert Camus bisa memasukkan namanya ke daftar ini. Sebelumnya, Neil Peterson memperoleh hadiah sastra bergengsi Atlantic Award setelah pensiun menjadi kapten Dundee United atas cerita pendeknya. Pepe Mel menulis novel detektif yang mendapat sambutan hangat. Terry Venables bahkan menulis naskah televisi di antara jeda latihan bola semasa masih aktif bermain. Nama David Beckham muncul di sampul buku cerita horor dan Theo Walcott menulis cerita berseri untuk anak-anak.

Ada juga bekas pemain bola atau pelatih yang menjadikan menulis sebagai seni. Bila membaca kolom-kolom Luis Menotti atau Jorve Valdano, Anda akan mendapat sensasi sastra. Esai-esai Beckenbauer menarik tapi citarasa Jerman terasa begitu teknis dan ‘arsitektonik’. Namun, rata-rata bekas pesepakbola yang menulis cenderung menghasilkan otobiografi. Atau paling banter mereka akan menulis kolom ulasan taktik, atau prediksi pertandingan.

Berharap pemain bola menulis cerita silat adalah tuntutan yang tidak bertanggung jawab, dan saya tidak sedang melakukannya.

♯Penulis

Saya punya teman dari masa remaja yang punya punya hasrat bermain bola, namun sama sekali tidak berbakat. Saat SMA, ia memilih posisi bek kiri bukan karena kidal atau pengen meniru salah satu legenda Milan, klub kesayangannya. Kaki kirinya mirip kayu getas, tak lentur mengarahkan umpan. Ia bisa menerjang dan larinya cukup kencang tapi napasnya pendek, seperti ukuran tubuhnya. Sederhana saja: tidak banyak saingan cadangan di posisi itu.

Pada masa itu, kemampuan mengolah kata dan menenun bahasa mirip bakat sepakbolanya. Angka di rapornya untuk Bahasa Indonesia barangkali delapan, tapi itu tidak menunjukkan bahwa ia akan lebih piawai menggiring cerita dan bercita-cita menjadi penulis novel.

Ketika ia memilih jurusan Sastra Indonesia di universitas, itu bukan diawali oleh kesadaran akan peluang pekerjaan yang akan diraih setelah menjadi sarjana atau membantunya memenangkan sayembara sastra. Seperti kebanyakan siswa kampung yang keder melihat persaingan masuk perguruan tinggi, Ia memilih Sastra Indonesia di nomor ketiga.

Sebagai penulis dari keluarga sederhana yang tidak memiliki riwayat sebagai penulis, ia memulai menulis cerita sebagai cara untuk membeli buku, makan bareng teman, atau menambahi kiriman orang tua yang tidak seberapa. Ia punya sedikit keahlian beternak ayam, tapi tempat tinggalnya di Yogya bukanlah pulau Buru tempat Pram bisa menukar telur dengan kertas.

Ia terus menulis, barangkali, karena tidak melihat ada kemungkinan menyambung hidup di luarnya. Sudah lama pertanian bengkoang di kampungnya susut, sementara membuat jubung telah ditinggalkan laki-laki di sekelilingnya. Lebih buruk lagi, sikap skeptis dan introvetnya jelas tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan bekal melamar pekerjaan ‘membantu’ masyarakat.

Beberapa bulan di Jakarta untuk pekerjaan lain membuatnya seperti ikan asap. Lalu pekerjaan lumayan sebagai penyunting buku pelajaran membuatnya bisa bayar kost dan sedikit mengumpulkan tabungan pernikahan, sebelum hari pemecatan diumumkan. Di antara waktu-waktu itu, ia berusaha keras menulis cerita tentang desanya, kerabatnya, dan ‘dirinya’ dalam sebuah novel.

Setelah satu dekade lebih bergulat dengan tokoh, plot dan narasi tentang desanya, ia syah menjadi novelis. Namun, hari di mana novelnya keluar dari percetakan itu bukanlah menjadi hari pertamanya menjadi seorang ibu yang melahirkan anak yang dikandung selama sepuluh tahun. Itu nyaris menjadi hari terakhir menjadi orang tua.

Kenyataan bahwa novelnya tidak beredar luas di pasaran komersial, artistik, dan akademik membuatnya mengalami ‘krisis 30an’.  Ia menghadapi ada jarak antara impian masa mahasiswa dan kenyataan dunia setelahnya. Di satu sisi, sangat sulit membayangkan hidup di luar menulis tetapi di sisi lain,  sulit membayangkan hidup hanya dengan menulis.

Seperti pemain bola di Indonesia, ia harus melewati masa transisinya dengan bermain tarkam. Ia mengerjakan apa saja untuk menyambung hidup. Krisis inilah yang membuatnya betah membujang. Ia mungkin tidak ingin membagi periode transisinya bersama orang lain.

♯ Bekas Pemain dan Penulis

Setiap profesi punya titik balik.

Titik balik pemain sepakbola adalah paruh 30an. Xavi pindah dari Barca, Gerard pergi ke Amerika, Kurniawan DJ undur diri. Mereka tidak bisa berkompromi dengan waktu. Ketika badan sudah mulai melawan perintah otak, saatnya pemain sepakbola menepi ke level kompetisi yang lebih rendah atau gantung sepatu dan menyiapkan karir kepelatihan.

Para penulis yang akan bertahan panjang, sebaliknya, memulai titik baliknya di usia 30an. Apalagi penulis yang dulunya kurang becus mengolah bola. Saya tidak sedang bicara tentang Galeano. Teman remaja saya itu kini telah melahirkan novel ketiga dan telah bermetamorfosa menjadi seorang penulis yang kuat dan, saya percaya akan bertahan lama.

Baginya, novel pertama barangkali yang paling penting—tiap pengarang hanya sekali menulis kisah atau tempat di satu novel, dan biasanya itu ada di karya yang pertama. Novel kedua penting karena memberi kemungkinan untuk bertahan hidup. Namun bagi saya, novel ketiga adalah yang paling krusial: ia menandai keberhasilan periode transisi.

Saya akan kembali ke postulat di atas: berkebalikan dengan pemain bola, penulis novel hebat dan novel yang bagus memulai siklus karirnya setelah usia tigapuluhan. Saya percaya teman yang tengah menikmati penerbitan dan promosi novel ketiga di usianya yang ke tiga puluh lima itu telah melewati ‘akademi’ dan bersiap-siap memainkan ‘kompetisi’ di level yang paling tinggi.

Novel ketiga bekas pemain bola kacangan itu judulnya Kambing dan Hujan.

Related Posts:

0 Response to "Pesepakbola dan Penulis"

Posting Komentar