Akhir Sebuah Permainan: Ketika Adzan Berkumandang dan Gol Terakhir Tercipta

Oleh Darmanto Simaepa

Dalam sepakbola modern-komersial, bunyi peluit panjang menandai awal dan akhir sebuah pertandingan. Benda mirip huruf P telentang, yang mengeluarkan nada tinggi ketika udara di dalam kapiler sempit ditiup, mengatur kapan pemain mulai berlari dan kapan bersalaman. Di antara dua peluit panjang, sempritan pendek mengatur tempo dan irama bola. Saat ia jarang bekerja, bola mengalir ibarat arus sungai kecil yang jernih dan deras. Namun, ketika pengadil berpakaian burung gagak berulangkali meniupnya, lapangan berubah menjadi sebuah perempatan yang macet, penuh bunyi klakson dan lalu-lalang umpatan.

Peluit adalah wajah konsepsi dan aturan sepakbola modern yang 
menempatkan hasrat bersenang-dalam penjara waktu. Ia juga mengubah permainan-bebas menjadi sebuah pertandingan. Dari sisi industri, Ia memberi jalan bagi televisi untuk mentransformasikan permainan menjadi untaian komoditi. Saat peluit diistirahatkan, iklan-iklan berseliweran; pedagang menawarkan kacang rebus dan gorengan; dan penonton di rumah merebus mi instan. Tentu saja, peluit bisa menertibkan pertandingan yang lintang-pukang dan mengurangi resiko perkelahian. Namun lebih sering ia memotong-motong alur permainan seperti sebuah film yang diedit dengan buruk.

Syukurlah, di lapangan sempit di desa-desa Jawa, di bekas ladang di pedalaman Sumatra, atau taman-taman bermain di Australia, orang-orang mengalirkan bola tanpa interupsi sempritan dan menentukan akhir permainan secara spontan tanpa peluit panjang.

Gema Adzan dari Mushala di Jawa

Di desa-desa di Jawa, permainan sepakbola dihelat di lapangan pinggir desa yang menjadi tempat kambing, sapi atau kuda makan dan buang tai. Lazimnya, permainan dimulai selepas ashar dan diakhiri saat beduk magrib bertalu. Pertandingan tidak selalu diawali oleh dua puluh dua orang. Lima enam pengangguran datang lebih awal untuk memulai. Remaja-remaja tanggung pulang sekolah, tak perlu singgah ke rumah, lekas memarkir sepeda di tepi lapangan dan ikut bergabung.

Semakin ramai orang, dentuman bola dan teriakan dari kejauhan memanggil para veteran yang sedang menyabit rumput, menggembala kambing atau menyiram bibit cabe di ladang. Orang-orang tua yang tak lagi bisa bermain duduk-duduk di sisi lapangan sambil membayangkan kejayaan masa lalu
. Sebagian lain penonton adalah laki-laki yang menghindar omelan para istri.

Tak ada peluit, tak ada wasit. Para pemain keluar masuk, sampai lapangan sempit penuh sesak oleh semua laki-laki sehat. Satu-satunya aturan barangkali adalah Anda harus berusaha menghindari tim yang pertama kali kebobolan. 
Tidak ada pemain yang suka panu atau pusar yang tak dipotong dengan bagus dilihat banyak orang. Tidak ada juga orang yang, ketika jatuh, kulit punggung langsung menyentuh kotoran sapi yang masih segar

Satu tim dengan 
17 orang bertanding melawan 23 adalah hal lumrah. Sekali-dua kali perbedaan mencolok komposisi tim yang membuat pertandingan tidak seimbang memaksa pemain dihitung ulang dan dibagi rata. 

Ada tendangan sudut dan lemparan ke dalam. Tapi aliran bola tidak dianggap berhenti sebelum masuk ke semak-semak, tersangkut di pepohonan, atau masuk ke comberan tetangga sebelah. Opset? Tidak ada ruang tersisa bagi penyerang untuk berlari menyambut umpan terobosan: pemain berimpit bahkan di dekat tiang gawang. Lagi pula siapa yang suka opset? Aturan ini tidak menarik hati laki-laki tambun yang menunggu datangnya bola di pojokan.

Pertandingan mengenal heng atau hens, tapi nyaris tidak ada tendangan bebas karena pelanggaran. Jika seorang pemain merasa dikasari, ia harus membalas secerdas mungkin 
ketika berebut bola. Tidak ada aturan seragam atau pelindung betis. Setiap orang harus pintar berkelit untuk menjaga punggung kaki atau tulang kering dari sergapan pul sepatu.

Tidak ada kartu merah atau hukuman pertandingan untuk adu jotos atau menempeleng lawan. Anda harus siap-siap 
diincar sanak-saudara lawan yang ingin balas dendam. Atau tidak perlu pergi ke kedai kopi beberapa hari dan pura-pura orang sedesa tidak bicara tentang insiden itu, paling tidak secara terbuka.

Bola bahagia berpilin-pilin di udara, menyusur tanah dan pindah dari kaki-kaki yang mengandalkan kesenangan belaka. Tak ada peluit 
yang akan mengedit gerakan. Bola bergerak dari satu pemain ke pemain karena salah umpan atau mengarah peler lawan. Tapi inilah bagian terbaiknya. Tak ada kontrol atas tempo dan aliran bola. Si kulit bundar terus bergerak cepat mengiringi lari dan lompatan kaki-kaki telanjang.

Suara tarkhim dari mushala terdekat atau kaset pengajian Zainudin MZ dari masjid yang jauh adalah ‘injury time’. Saat-saat seperti ini, para pemain berusaha untuk tidak menendang bola sekuat atau sejauh mungkin. Sekali bola melintas rumpun bambu atau kolam ikan dan butuh beberapa menit untuk diambil, pertandingan praktis berhenti.

Di bulan-bulan kering bulan Juni atau Juli, saat matahari lebih terang dan pulang kandang lebih telat dari biasanya, beduk adzan maghrib adalah akhir pertandingan. Saat hujan deras dan listrik mati, pertandingan bisa berlanjut sampai larut senja.

Setiap remaja di desa pernah mengalami—paling tidak tahu—hal ini: suatu hari hujan begitu derasnya. Pertandingan seru. Speaker masjid mati. Lumpur
, keringat dan tai kuda bercampur jadi satu. Air hujan dan ingus terasa asin di bibir. Tapi anda tidak mau berhenti. Orang malas pergi ke surau menabuh beduk. Permainan hanya berakhir ketika Ibu-ibu dengan rambut basah dan sapu lidi berteriak-teriak penuh amarah dari pinggir lapangan. 

Esok sore adalah pertandingan yang lain dan adzan magrib akhir yang lain.

Maen Sore dan Injury Time di Sumatra

Di kota Padang atau di Kepulauan Mentawai, keberadaan peluit adalah salah satu hal penting yang ditanyakan sebelum pertandingan dimulai. Meskipun tidak selalu di bawa ke lapangan, peluit adalah barang inventaris wajib organisasi pemuda atau rukun warga. Jika mencari peluit adalah satu hal maka mencari peniup peluit adalah hal lain. Meminta orang berdiri di tengah lapangan dengan sempritan di tangan lebih sulit mencari orang yang mau berdiri di bawah mistar. Hanya orang-orang tua yang sudah tidak kuat berlari atau ketua pemuda setempat yang mau mengalah. Itupun mereka melakukannya 
dengan setengah hati.

Dengan peluit, pertandingan lebih tertib dari pada yang ada di desa-desa di Jawa. Sebagian besar pertandingan yang saya tonton dan mainkan memakai aturan jumlah pemain dan pelanggaran. Remaja tanggung dekat di pantai Padang menerapkan tendangan sudut dan back-pass, meskipun gawangnya berupa sendal dan batok kelapa, sementara tepi lapangan berubah-ubah seturut pasang surut hempasan ombak. Di Mentawai, pemain yang datang telat akan tertib antri di pinggir lapangan dan menunggu giliran setelah kuota 22 orang terisi.

Ketika matahari mulai turun dan kabut tipis senja hari berarak dari arah Bukit Barisan, penonton dan pemain berseru riang 
‘maen sore, maen sore’. Seruan bergema menjelang akhir permainan dan secara harfiah menunjukkan ujung senja hari. Segera, peluit dan segala aturan akan ditanggalkan dan spontanitas pegang kendali

Lebih dari sekadar harfiah
 maen di ujung hari, seruan itu bisa berarti sebagai ajakan bermain sepakbola dengan penuh perasaan, tak peduli menang-kalah dan lebih dekat dengan istilah permainan ‘tak terkendali’.  Istilah ini dilontarkan baik oleh pemain dan terutama penonton untuk menyemangati tim yang sedang kalah atau tidak punya harapan untuk menang. 

Seruan ini juga bisa berarti: kalau tidak dapat menang di pertandingan, harus menang dalam ‘memakan’ pemain lawan. Setiap pemain harus siap-siap menjaga badan. Tekel-tekel tinggi akan melayang. Siku-siku dan lutut bersiap-siap menghantam. Terkadang ludah ikut muncrat dan urat leher menegang sesering seringai ejekan dan senyum-senyum cibiran. 

Dalam periode maen sore, wasit biasanya undur diri dan peluit berhenti berbunyi. Pemain menyukai karena longgarnya aturan. Penonton menyenangi karena suara mereka bisa menghidupkan irama permainan. Pelanggaran paling kasar akan dimaklumi. Salah umpan atau buang-buang peluang tidak begitu dipedulikan. 
Permainan bisa jadi tidak karuan dan bola bergerak mengikuti arah angin puting beliung. Tapi bukankah demikian juga dengan "tempo" dalam lukisan terbaik Affandi atau film-film Tarantino?

Maen sore ini adalah bagian paling maskulin dari sepakbola rakyat. Seorang pemain yang mundur dari periode ‘maen sore’ tanpa alasan harus siap menerima ejekan.  Ejekan yang terlontar lazimnya punya asosiasi dengan perempuan. Kata-kata “pakai rok saja”, “kutangnya 
ukuran 35”, atau “pulang menyiapkan makan malam” diarahkan kepada pemain yang pulang lebih cepat sebelum maen sore berakhir.

Adzan maghrib dan beduk tidak begitu banyak berperan. Karena hanya dimainkan di akhir pekan, 
permainan bisa berlangsung hingga matahari benar-benar terbenam. Terkadang maen sore lebih panjang dari “maen normal. Selama sisa-sisa cahaya merah matahari masih memendar dan ujung-ujung pohon durian di perbukitan sekitar masih kelihatan, bola terus bergulir di sela-sela kaki. Di bulan-bulan kering, pertandingan bisa berlanjut sampai masuk malam.

“Hari Sabtu depan masih lama lagi, kalau perlu kita “maen malam””, seloroh para pemain Mentawai yang bersemangat. Saya pernah terlibat permainan hingga hampir 
jam delapan malam, ketika suara tonggeret dari ladang sagu bersaing dengan teriakan kiperyang bingung dan kabur memperhatikan arah serangan lawan.

Maen sore dekat dengan permainan kasar, cepat dan lepas kendali. Cedera, luka-luka, perkelahian adalah peristiwa yang menandai periode ini. Maen sore bersifat relatif: tanpa aturan dan bunyi peluit, ia bisa berakhir lebih cepat atau lambat. Ketika terjadi benturan keras, tekel kasar, atau gestur marah tak terkendali dari salah seorang pemain, itulah pertanda permainan harus berakhir.

Jika "injury time" adalah istilah industri sepakbola untuk waktu tambahan yang diberikan oleh wasit atau panitia karena pertandingan di waktu normal terhenti, biasanya karena ada pemain yang cedera, maen sore adalah sekaligus injury time dan peluit panjang dalam pengertian yang sesungguhnya.

Gol Terakhir di Australia

Di negeri empat musim, sihir sepakbola membuat orang-orang yang mencintainya mengatasi perubahan cuaca. Saat matahari beredar lebih lama di musim panas, taman-taman lengkap dengan garis lapangan dan tiang gawang di seantero kota adalah tempat terbaik mengeluarkan keringat malam hari. Di musim dingin, ketika matahari masuk peraduan lebih cepat, lampu-lampu dan pemanas dinyalakan di pinggir lapangan.

Seperti pertandingan sepakbola non-televisi di mana-mana, cuaca, waktu dan hukum adalah perkara relatif untuk pemain. Di pertandingan akhir pekan di taman-taman di Perth Australia atau di Leiden, Belanda, orang-orang beragam warna kulit dan usia bertanding tanpa peluit dan banyak aturan. Mereka juga bertanding tanpa batasan waktu resmi dan pasti.

Permainan bisa di mulai lebih awal ketika tujuh atau delapan 
berkumpul di taman. Jika terlalu sedikit, mereka bergabung dengan orang lain tak di kenal di lapangan sebelah.  Sambil menunggu pemain lain berdatangan, mereka main dalam lapangan kecil dengan batas imajiner. Gawangnya berupa sepasang sepatu kets atau dua tas yang ditata selebar satu langkah kaki.

Meskipun sebagian ada yang tidak mengerti lemparan ke dalam atau back pass, pertandingan relatif lancar. Pemain yang melanggar atau menyentuh bola “dengan sadar” mengangkat tangan. Sesekali terjadi perdebatan tentang posisi opset. Namun pada prinsipnya emosi ditekan agar bola mengalir dan tidak mudah berhenti. Teriakan-teriakan mengikuti arah bola. Terkadang, jika pemain terlibat sengketa, berhenti dan keluar lapangan adalah pilihan masuk akal dari pada 
membalas tebasan kaki lawan.

Pertandingan lebih sulit dihentikan ketika kedua tim sedang seru-serunya jual beli serangan. Masjid jarang-jarang (lagipula gema suara adzan 
dianggap menyalahi aturan) sementara pengontrolan emosi tidak membuka kemungkinan bagi maen sore. Lagi pula, tidak mudah mengajak orang yang sedang asyik menghayati arti permainan. Selama kaki masih sanggup berlari dan bola terus mengalir, selalu ada alasan untuk menunda batas permainan.

Namun, setiap pemain tahu kapan tendangan terakhir dalam permainan hari ini. “Satu gol lagi” atau “Gol terakhir hari ini” adalah istilah yang 
keluar jika permainan hampir mendekati akhir. Bukannya menurunkan tempo, sekali ungkapan ini terucap, para pemain berlari semakin kencang dan gesit membuka ruang, sementara yang lain bersiap waspada dan meningkatkan akurasi umpan.

Gol terakhir sangat penting. Selain mengakhir permainan, gol itu akan diingat sampai pertandingan berikutnya, tidak peduli 
Anda kalah atau menang. Ia definitif gol yang dicetak terakhir, tapi siapa yang punya gol ini sangat tergantung dari kerelaan kedua tim menerimanya. Satu gol lagi bisa berarti aliran gol-gol berikutnya, ketika salah satu tim yang unggul menggunakannya sebagai cemoohan atau salah satu tim masih merasa bisa menciptakan gol balasan. 

Permainan bisa menjadi demikian panjang seperti Sabtu kemarin. Di bawah udara mengigil akhir musim gugur Australia Barat, sebuah pertandingan berlangsung tak seimbang. Di makan usia dan tanpa pemain cadangan, tim yang saya bela menjadi bulan-bulanan. Lebih dari enam gol menjebol gawang kami, hanya dibalas dengan dua atau tiga kali peluang.

Tim lawan berulangkali memberi isyarat untuk mengakhiri permainan. Namun, kami pura-pura tidak mendengar. Kami berupaya menghapus rasa malu dengan gol terakhir. Kami berharap mendapat satu-satunya peristiwa yang pantas diingat sampai pekan depan. Kami mendapat tendangan penalti, tapi tidak berhasil dituntaskan. Suhu turun menjadi delapan derajat. Angin 
kian kencang dan dingin hujan semakin menusuk tulang. Tim memburu kesempatan, namun gol terakhir tak kunjung datang. Sebaliknya, tim lawan dengan fisik dan teknik yang lebih baik terus bersenang-senang, menikmati hujan air dan hujan gol.

Semakin bernafsu kami memburu, semakin habis napas dan semakin tipis udara, semakin jauh kami dari harapan. Bola sudah seperti anjing hitam berlari ke sana kemari di malam hari dan tidak mau berhenti. Sampai kemudian, sebuah serbuan terakhir dan tendangan terakhir. Kiper sudah tidak lagi bisa melihat apakah tendangan itu mengarah ke gawang atau menyamping. Tidak ada jaring sehingga sulit memastikan apakah itu gol atau bukan.

Yang pasti, itu adalah gawang kami.


Related Posts:

0 Response to "Akhir Sebuah Permainan: Ketika Adzan Berkumandang dan Gol Terakhir Tercipta"

Posting Komentar