Andai Sepp Blatter Raja Mataram

Oleh Darmanto Simaepa

*Untuk Dian Yanuardi

Andai saja Sepp Blatter berusaha menjadikan anak perempuannya, Corrine, sebagai kandidat presiden FIFA, saya tidak keberatan pasang taruhan bagi kemungkinan revolusi kesetaraan jenis kelamin dalam sepakbola. Di bidang di mana sepekan klub Perancis dilatih seorang ibu asal Portugal untuk kepentingan komersial dirayakan seperti penobatan Paus, kemungkinan FIFA dipimpin perempuan lebih masuk akal dari pada penobatan raja Mataram perempuan. 

Blatter melakukan segala yang ia bisa lakukan agar perempuan dihargai dalam olahraga tercinta ini. Konon Piala Dunia wanita terwujud karena campur tangannya—saat ia masih menjadi sekretaris Havelange. Ia juga mengklaim sebagai pencetus Ballon d’Or untuk pesepakbola wanita dan penyeru fasilitas stadion profesional liga perempuan. Pokoknya, di depan pesepakbola wanita di seluruh dunia, Ia berani menyebut dirinya sebagai “Godfather”. Jika ia mengubah aturan, menitahkan perintah, atau mengatur pertemuan agar buah spermanya menjadi presiden FIFA, yang keberatan paling-paling Hamam dan Maradona—atau para penulis the Guardian. 

Sementara bagi lelaki dan dunia, jasa Blatter tidak sedikit! Ia dengan cerdik mengemas perubahan demografi pesepakbola elit di Eropa (dan dunia) sejak dua dekade terakhir dengan kampanye respek dan anti-rasisme, seakan-akan badan pengelola sepakbola siap dengan banjir pemain kulit berwarna dan tantangan multikuturalisme. Di bawah pimpinannya, FIFA tak henti-henti melobi kementerian tenaga kerja di negara-negara Eropa untuk menerapkan pajak rendah dan regulasi kontrak pekerja di bawah umur agar anak-anak berharga murah dari Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia dapat diubah menjadi “homegrown player” bagi klub-klub kaya. 

Itu baru sebagian. Kampanye sepakbola untuk orang miskin menjangkau Haiti, El Salvador atau Kaledonia Baru. Sebentar lagi bendera FIFA akan berkibar-kibar di bekas reruntuhan kuil-kuil dewa di Nepal. Sambil menciptakan lapangan-lapangan bagus di kawasan kumuh di negara-negara berkembang, FIFA juga mengirim rumput dan sepatu impor serta mengenalkan apparel di sudut-sudut lapangan. Oh ya, selain menyerukan financial fairplay agar pangeran Arab atau Oligarki Russia tidak menghambur-hamburkan uang minyak, Blatter juga berhasil membendung upaya investigasi rekening dan akuntansi FIFA selama gelaran piala dunia. 

Kalau saja Blatter raja Jawa—pengandaian penggemar sepakbola tentu saja—Ia tidak akan sulit untuk menjadi sinkretik, adaptif, dan membaca tanda-tanda zaman untuk tetap berkuasa. Meski di lemari kerjanya di Swiss tidak ada serat yang ditulis Ranggawarsita atau Jayabaya, bukan hal yang sulit bagi orang dengan kaliber dia untuk meramal perubahan zaman. Ia tidak perlu belajar dari perjanjian Gianti untuk belajar mempertahankan kekuasaan dengan cara bekerja sama dengan musuh dan mengirim sekutu dekat-si pangeran Arab-ke penjara.  

*****

Mungkin suatu kebetulan semata bahwa naiknya Blatter ke tampuk kerajaan FIFA tahun 1998 persis dengan penobatan Raja Mataram sebagai gubernur Yogya. Yeah, anggap saja ini suatu kebetulan yang enak dijadikan perbandingan. Keduanya juga kebetulan melewati masa turbulensi dan transisi rejim kekuasaan. Tidak perlu uji IQ untuk tahu bahwa kedua raja ini sama-sama pintar.Jika tidak pintar, masa kepemimpinan Blatter tidak bertahan selama 4 kali periode. Jika tidak lihai, tidak mungkin jabatan Gubernur di Yogya bisa melampaui aturan undang-undang.

Namun, ada juga sedikit perbedaaannya. Tidak seperti si Sultan yang, seperti leluhurnya dan juga wangsa-wangsa pra-Indonesia Modern, terus mencari-cari legitimasi dari langit dan mimpi dini hari, Blatter relatif  tidak perlu pergi memanggil arwah manusia Neanderthal. Ia juga tidak perlu UU keistimewaan FIFA atau Sabda Tama untuk membuat singgasananya aman. Ia terus berkelit dari bayang-bayang rejim korup a la Havelange melalui kampanye-kampanye manis transparansi dan akuntabilitas.   

Memang ada masa ketika Raja Jawa lebih lihai dalam meramal cuaca dan masa depan mahkota. Ahli sejarah dan cerdik-pandai percaya bahwa masuknya Kerajaan Mataram dalam pelukan republik adalah bukti hilangnya primordialisme dan munculnya ikrar nasionalisme. Saya pernah mendengar langsung salah satu mulut bapak Sosiologi Indonesia bilang bahwa klausul dalam perjanjian Giyanti—bahwa VOC/Belanda tidak bisa menyerang kedudukan raja Mataram—digunakan untuk menyelundupkan para pemimpin revolusi lewat pintu dapur Keraton. Boleh juga ditambahkan di sini: tanpa pemihakan Yogya ke Republik, serangan Umum 1 Maret tidak terlaksana dan revolusi Indonesia tinggal nama. 

Orang juga bilang, Raja Mataram lihai membaca arah badai politik paska-kemerdekaan. Keraton sigap mewujudkan tuntutan populer kaum tani tak bertanah sambil membentangkan layar bersiap-siap menyambut pasang naik Orde Baru yang muncul di balik cakrawala. Lebih menakjubkan lagi, sang Raja segera melegalkan pembagian tanah kepada rakyat dan dianggap ikut menerapkan reforma agraria. Para cerdik-pandai memuji, rakyat senang hati, dan raja harum namanya. Pun ketika kerusuhan Mei meletus, Raja Mataram dengan cermat membuat perhitungan. Ia menghelat Pisowanan Agung, bergabung dengan rakyat untuk menurunkan Presiden Jawa, yang merupakan teman akrab bapaknya dan juga salah satu pimpinannya, dan aha! berhasil menderet namanya dalam barisan tokoh pembaharu…

******

Sejarah yang diingat cenderung berisi kisah aktor-aktor lihai-pandai yang berhasil mengarungi kemelut zaman. Itulah mengapa, buku-buku sejarah diisi oleh orang-orang besar. Itulah mengapa, kita gampang terjangkiti amnesia sejarah. Itulah mengapa, Sartono Kartodirjo menjadi anomali ahli sejarah. Orang lupa bahwa zaman peralihan berisi oleh kecamuk peristiwa sosial dan silang sengkarut kekuatan sosial yang bekerja. Kita menapis sejarah yang berlumpur demi mendapatkan ikan yang mudah dijadikan bahan perbincangan. 

Prestasi Blatter adalah paksaan dari sebuah kekuatan sosial. Putaran uang siaran televisi dan keunggulan komparatif tenaga kerja murah Bangladesh atau China memungkinkan FIFA dan klub-klub kaya mendapatkan kontrak mega-milyar sambil kampanye respek dan perang melawan kemiskinan. Semakin krusial gol dan hasil pertandingan dalam menentukan klub mendapatkan tiket liga Champions atau negara melaju ke babak gugur, membuat FIFA mengadopsi teknologi. Menguatnya peran penonton di dalam dan diluar stadion dalam industri sepakbola memaksa FIFA memberi penghormatan bagi orang yang dipandang penting mati atau ada hal-hal yang musti diperingati.


Menjawab tantangan industrialisasi sepakbola, FIFA malih rupa. Mereka mengklaim menjadi malaikat penyelamat sepakbola dan menjajakannya ke seluruh penjuru dunia. (Nabi kita Galeano pasti tidak setuju dengan kalimat ini. Ia menyebut Blatter sebagai mucikari). Entahlah. Dengan baju sinterklas atau lipstik menor, FIFA mengecer permainan brilian ini ke dalam sirkulasi konsumsi. Semakin banyak iklan berjejal di siaran televisi; semakin banyak waktu dihabiskan para pemain di gym dibanding dengan di meja makan keluarga; semakin dalam penonton merogoh kocek untuk bisa menonton di stadion. 

Begitu juga dengan raja-raja Jawa. Agak sulit diterima bahwa hal-hal bijak (atau paling tidak dianggap bijak) hanya bersandar dari wahyu dari langit. Tidak banyak rujukan yang menyatakan bahwa ketika Mataram gabung Republik, kerajaan Melayu di Sumatera Timur dihantam revolusi, kepala tengku-tengku di Aceh dipenggal massa, dan raja-raja di Sunda Kecil terkencing-kencing di celana. Tidak banyak analisa kritis yang menjelaskan praktik redistribusi tanah dengan kebutuhan legitimasi baru ketika kerajaan Mataram berhadapan dengan institusi politik demokratis bernama Indonesia.

Saya tidak membantah bahwa redistribusi tanah paska proklamasi adalah kecakapan politik luar biasa Sultan Mataram IX. Tapi, ini bukanlah politik berdasar atas azas kebaikan. Semua sarjana sepakat bahwa di Jawa penguasaan cacah lebih penting dari wilayah. Tanah tentu saja penting, tapi saat barangkali tidak penting-penting amat untuk dimiliki. Bahwa dia dibagi-bagikan kepada "rakyat", ini lebih memberikan legitimasi politik-kultural yang amat dibutuhkan untuk membangun relasi dengan Indonesia. Raja Jawa bersikap adaptif dan terbuka oleh kekuatan sosial bernama negara agar bisa melanggengkan kepentingannya di saat Mataram sedang meredup sementara republik sedang gegap-gemputa menyambut ufuk fajar. 

Dulu, mengurus abdi dalam tidak membutuhkan banyak anggaran. Status sosial menggerakkan orang bekerja dengan upah minimal. Dengan nama baik, legitimasi, tahta untuk rakyat, orang-orang di keraton masih makan enak dan tidur nyenyak. Kekayaan kultural memberi legitimasi kultural dan penerimaan simbolik. Kini, Anda tidak hanya butuh abdi dalem untuk menyemir keris Sultan atau mengganti atap keraton bukan?

Nah, sebagai Raja FIFA, Blatter yang punya ijazah dibidang bisnis dan bekerja di departemen pariwisata Swiss lihai mengubah kampanye dan birokrasi sepakbola sebagai sarana menggali dana. Kemanapun ia pergi, eksekutif Adidas, Pepsi, atau Microsoft selalu mengikuti. Ketika sumur penghasilan FIFA kelihatan tidak akan kering, keistemewaan Yogyakarta tidak otomatis menjamin alokasi dana dari Jakarta bisa menyelamatkan posisi politik-ekonomi keraton.

Dulu mungkin pasir pantai laut Selatan hanya menjadi taman bercinta sang Raja dan Nyai Roro-nya.  Ketika pasir-pasir hitam itu bisa dijual mahal ke investor Australia, bukan hal sulit untuk menjelaskan sengketa Sultan Ground. Keistimewaan adalah kata yang indah dan mesin politik yang canggih untuk melegitimasi penarikan tanah-tanah swapraja yang (telah?) diserahkan ke negara dan rakyatnya.

Bintang telah beralih, mengiringi Yogya yang agak lain. Seperti halnya sepakbola dunia, kita menyaksikan Yogya semakin intensif dilintasi pergerakan orang dan uang. Hotel-hotel menghalangi pandangan jernih ke arah Merapi. Kolam renang apartemen-apartemen mengeringkan sumber-sumber air tanah. Bangunan-bangunan gagah itu memberi insentif finansial dibanding rumah-rumah petak dan gardu-gardu siskamling. Di kawasan peri urban, duit-duit pertambangan dari luar Jawa mengubah sawah-sawah dan sungai menjadi lahan bisnis properti. Preman, jasa sekuriti, dan tukang parkir membanjiri trotoar dan lalu lalang di tiap perempatan.

Tidak perlu baca Naomi Klein untuk tahu bahwa lintasan kapital lazimnya diikuti dengan rentetan kekerasan. Perkelahian antar geng bukanlah hal yang baru di Yogya. Joxzin, GPK atau Qzruh lahir dan beranak pinak dua generasi. Namun belakangan dimensi "ras dan identitas" dalam setiap pertempuran semakin jadi penanda kuat. Gadis Batak ceroboh di pom bensin itu bukan hanya ketiban sial, tapi target yang paling mudah dan lemah bagi orang-orang frustasi dalam kesehariannya. Kata 'Indonesia Timur' tiba-tiba muncul secara kasat telinga, mengiringi lalu-lalang industri narkotika dan huburan malam paska kasus Cebongan. 

*****

Di tengah deras arus perubahan ini, kerajaan harus malih rupa dan ikut dalam permainan. Sosio-ekonomi Yogya terentang-paksa oleh arus kapital, begitu juga sikap politiknya. Di tengah upaya resentralisasi Jakarta dan kelimun investasi, pendulum politik keraton akan sulit memilih untuk bertahan di wilayah kultural dan simbolik. Mereka terpaksa untuk menceburkan diri dalam arus dan arah sejarah.

Orang mungkin lupa teka-teki ini: Sultan berikrar berhenti jadi orang nomor satu di Yogya dan mendedikasikan karir politiknya sebagai tokoh nasional tahun 2007. Ia juga berjanji akan menjadi pemimpin simbolik dan spiritual setelah itu. Sukar untuk tidak diterjemahkan bahasa politik ini selain untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia kelilingi nusantara. Dapatlah ia dukungan dari raja-raja yang bangkit kembali di era otonomi.

Saat itu, rencana bisnis ekstraksi pasir besi dengan investor Australia telah disepakati . Namun, rencana itu tidak mungkin bisa dieksekusi hanya dengan keputusan provinsi. Petani Kulonprogo melawan, legitimasi kultural sulit dipertahankan. Sulit bagi Keraton untuk melawan keputusan politik Bapak-kakeknya sendiri. Sebuah artikel di Rolling Stone menyebut ada pembiayaan untuk kampanye dan pendaftaran konvensi calon presiden versi Golkar. Saatnya sang Raja naik ke panggung nasional. Ia perlu UU untuk membuat keputusan politik besar

Rencana gagal. Pesona raja Jawa tidak ada apa-apanya dengan mulut manis SBY. Ia terpaksa mudik untuk menyelamatkan rejim yang menghadapi gelombang perubahan. Hanya orang yang tidak melek hatinya saja yang percaya keputusan untuk menanggalkan gelar sebagai sebuah sikap bunuh diri hirarki atau dorongan bagi emansipasi. Tidak lain dan tidak bukan, keputusan politik menanggalkan gelar khalifatullah justru adalah taktik dan legitimasi untuk meneruskan kuasa

Seperti halnya era transisi “feodalisme” Havelange menuju “industrialisme” Blatter, kita sedang menyaksikan transformasi kerajaan feodal Yogya, dengan segala kebajikan dan kejahiliahannya, menuju (mmmh.. ada usulan kata lain?) kerajaan yang harus menghadapi penggencaran modal. Seorang Raja butuh cara dan rencana untuk menyelamatkan rejim dari “arus balik”ini. Seperti yang sudah-sudah, legitimasi kultural mengikuti keterpaksaan politik.


Di sini ada beda sedikit antara Blatter dan Raja Jawa: Ia tidak perlu Corrie untuk menjadi juru selamat dan kita tidak perlu bertaruh dan berdebat mengenai emansipasi perempuan dalam sepakbola.

































































































































































































































































.





















Related Posts:

0 Response to "Andai Sepp Blatter Raja Mataram"

Posting Komentar