Sepakbola mengangkat sisi keilahiahannya dan menampakkan balasan setimpal bagi mereka yang beriman. Dengan bola di kaki dan warna kebangsaan di badan, pemain yang mewakili negara maju berderap untuk merengkuh kejayaan di medan perang yang jauh. Apabila dia pulang takluk, sang prajurit pun jadi iblis terkutuk. Di lapangan terbang Ezeiza pada 1958, orang-orang melemparkan uang recehan ke para pemain Agentina yang kembali dari penampilan buruknya di Piala Dunia di Swedia. Pada Piala Dunia ’82, Caszely meleset dalam melakukan tendangan penalti dan ketika kembali ke Chile mereka membuat hidupnya tak memungkinkan lagi. Sepuluh tahun kemudian, beberapa pemain Ethiopia memohon perlindungan PBB setelah mereka kalah 6-1 dari Mesir.
Kami ada karena kami menang. Jika kami kalah, kami tak lagi eksis. Tak perlu dipertanyakan lagi, seragam tim nasional telah menjadi simbol paling jelas bagi identitas kolektif, tak cuma bagi negara-negara miskin atau kecil yang keberadaannya di peta hanya tergantung pada sepakbola. Saat Inggris tak lolos kualifikasi Piala Dunia ’94, halaman depan Daily Mirror menampilkan sebuah kepala judul dalam ukuran huruf yang cocok untuk sebuah berita bencana: “AKHIR DUNIA.”
Dalam sepakbola, seperti pada semua hal lain, kalah tidak diperbolehkan. Di zaman kalabendu* ini, kegagalan adalah satu-satunya dosa yang tak terampunkan. Saat Piala Dunia ’94, segelintir orang fanatik membakar habis rumah Joseph Bell, kiper Kamerun yang terkecundangkan, dan pemain Kolombia Andres Escobar ditembak mati di Medellin. Escobar kena sial dengan mencetak sebuah gol bunuh diri, sebuah tindak penghianatan yang tak termaafkan.
Haruskah kita menyalahkan sepakbola? Atau haruskah kita menyalahkan budaya sukses dan keseluruhan sistem kuasa yang direfleksikan oleh sepakbola profesional? Sepakbola tak punya bawaan lahir sebagai olahraga kekerasan, meskipun beberapa kali menjadi kendaraan untuk peluapan angkara. Tidaklah kebetulan pembunuhan Escobar mengambil tempat di negeri paling keras di seantero planet. Kekerasan tidak ada pada gen orang-orang yang menyukai perayaan dan menjadi liar oleh nikmatnya musik dan sepakbola. Rakyat Kolombia mengalami derita kekerasan seperti terkena penyakit menular, namun mereka tidak mengenakan itu sebagai tanda lahir di kening. Mesin kekuasaan, di sisi lain, adalah sebenar-benarnya penyebab kekerasan: seperti di seantero Amerika Latin, ketidakadilan dan keterpurukan meracuni jiwa-jiwa rakyat di bawah sebuah sistem yang memiliki tradisi kebal hukum, yang memberi tanda jasa bagi si durjana, menganjurkan kepada kemungkaran, dan membantu melanggengkan hal itu sebagai semacam jatidiri bangsa.
Beberapa bulan sebelum Piala Dunia ’94 dimulai, Amnesty International mengumumkan sebuah laporan terkait ratusan warga Kolombia “yang dieksekusi tanpa proses yang wajar oleh tentara dan paramiliter sekutu mereka pada 1993. Sebagian besar korban dari eksekusi di luar hukum ini adalah warga yang tak diketahui afiliasi politiknya.”
Laporan Amnesty International juga menunjukkan peran polisi Kolombia dalam operasi “bersih-sosial”, sebuah eufemisme bagi pembasmian sistematik terhadap homoseksual, pelacur, pecandu obat, pengemis, orang gila, dan anak jalanan. Masyarakat menyebut mereka “orang sisa-sisa”**, manusia sampah yang sebaiknya mati saja.
Di dunia yang menghukum kegagalan, mereka selalu saja adalah para pecundang.
# diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano, 2003, trans. Mark Fried.
*) diterjemahkan dari “fin-de-siecle days”, istilah Prancis untuk zaman dekaden dan menuju keruntuhan. (Lih. wikipedia.com terdekat).
**) diterjemahkan dari “disposables”, mungkin “rongsokan” lebih tepat, tapi frasa “orang sisa-sisa” dari lagu “Air Mata Api”-nya Iwan Fals tak bisa lepas dari kepala saya.
**) diterjemahkan dari “disposables”, mungkin “rongsokan” lebih tepat, tapi frasa “orang sisa-sisa” dari lagu “Air Mata Api”-nya Iwan Fals tak bisa lepas dari kepala saya.
0 Response to "Dosa Kekalahan#"
Posting Komentar