Cruyff: Mampukah Van Gaal yang Militeristik Menangani Ego-ego di United?*

Oleh Donald McRae (The Guardian); Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Legenda Belanda, yang pernah menghadang penunjukan Luis van Gaal di Ajax, mengatakan manajer MU harus mendapat pemain-pemain yang membangun permainannya demi tim.


Johan Cruyff pulang ke Amsterdam dan, pada siang yang mendung di kota tua di mana dia dilahirkan, tumbuh dan melakukan debut profesional untuk Ajax 50 tahun silam di November ini, ia melangkah dengan langkah elegan melewati kerumunan yang memanggil-manggil namanya dan mencoba menyentuhnya. Di Stadion Olimpiade, berjalan berkeliling di arena yang disewa sehari oleh yayasannya, ini adalah gerak-gerik yang familiar dari seorang Johan Cruyff. Pria 67 tahun itu menyambut puja-puji itu, dan bahkan berpelukan dengan seorang tua yang berpakaian maskot "ke-Cruyff-Cruyff-an", dengan senyum menyeringainya. Beginilah rasanya menjadi mahabintang sepakbola dalam lima dekade.

Bersanding bersama pahlawan masa kecilnya Alfredo Di Stefano, yang meninggal musim panas ini, Pele dan Diego Maradona, Cruyff menjadi bagian dari empat serangkai yang mengilhami sepakbola dengan reputasi mereka yang hampir seperti dongeng. Cruyff lebih menonjol karena hanya orang Belanda inilah yang bisa mengklaim impak yang berkesinambungan bagi sepakbola dari sisi lapangan saat masa kepelatihannya di Barcelona--sementara Di Stefano sukses sebagai pelatih. Suatu kali, Di Stefano pernah mengeluh bahwa manajemen sepakbola "yang dipisahkan dari bekerja dengan pemain muda, adalah pekerjaan paling mengerikan yang pernah ada."

Cruyff selalu memiliki pikiran yang berbeda. Saat masa kerjanya yang luar biasa di Barcelona, dari 1988 sampai 1996, ia memanfaatkan kecepatan, ruang kosong dan taktik cair dari Total Football, yang dibangunnya bersama Rinus Michels, pelatihnya di Ajax, untuk menyulap tim yang sekarat menjadi warisan yang abadi.

Master tiki-taka Barcelona macam Xavi Hernandez dan Andres Iniesta selalu menekankan bahwa semua yang mereka lakukan berbasis pada cetakan yang dibuat Cruyff. Dari kreasinya membuat akademi pemain muda di La  Masia hingga membuat baling-baling latihan yang disebut rondos, yang menyempurnakan kefanatikan mereka atas penguasaan bola, hingga kengototan untuk menekan lawan, Barcelona dan Spanyol memakai model Cruyff untuk mendominasi sepakbola Eropa dan dunia. Era itu sudah surut, yang mendapati akhir simboliknya pada suatu malam Piala Dunia di bulan Juni saat Belanda, yang dilatih Luis van Gaal, dengan siapa Cruyff berbagi rasa saling benci, menghancurkan Spanyol 5-1.

Tentu saja Van Gaal saat ini ada di Manchester United, berjuang untuk menyelesaikan persoalan pasca-rejim Ferguson, sementara Cruyff tengah terbebas dari belenggu tekanan sepakbola. Hidup Cruyff tetaplah melelahkan--dan dia menjelaskan dengan senyum nyengir bahwa ia harus terbang kembali ke Barcelona, "rumahnya" yang lain, malam ini. Namun, untuk saat ini, menjadi Luis van Gaal tampaknya lebih sulit.

Kami mojok di sebuah ruangan kecil yang menghadap ke sebuah kanal khas Amsterdam. Cruyff, yang bersahabat dan asyik namun enggan memulai perang baru dengan Van Gaal, orang yang ia sebut memiliki "kemistri buruk" dengannya, bisa membuat pandangan yang ringkas tentang kerja keras rekan senegaranya. Ditanya apakah ia berharap Van Gaal sukses di Old Trafford, Cruyff angkat bahu. "Kami harap begitu, sebab itu akan  baik bagi sepakbola Belanda dan bagi manajer Belanda yang lain. Tapi bagaimana caranya? Mana tahu. Itu akan butuh waktu."

Pada 2011, Cruyff, yang kemudian menjadi anggota direksi di Ajax, pergi ke pengadilan untuk mencegah penunjukan kembali Van Gaal di klub yang mereka dukung saat bocah. Keduanya juga menjadi bagian dari skuad Ajax pada awal 1970-an saat, sebagai adik angkatan, Van Gaal tidak punya peluang untuk menggeser Cruyff sebagai bintang di lini depan. Cruyff meneguhkan namanya sebagai pemain terhebat di Eropa saat Van Gaal memburuh di klub-klub tidak jelas macam Royal Antwerp dan Sparta Rotterdam.

Saat Cruyff beralih menjadi pelatih, di Ajax dan di barcelona, Van gaal mengikutinya di kedua klub tersebut. Van Gaal, yang lebih muda empat tahun, mendapati kemampuan sejatinya di manajemen dan naik sebagai pelatih kepala di Ajax pada 1991. Cruyff dan Van Gaal diisukan tidak saling menyapa -- tampaknya sejak sebuah salah faham pada makan malam Natal pada 1989. Permusuhan tersebut mengemuka kembali tiga tahun lalu saat dewan direksi Ajax menunggu Cruyff kembali dari Barcelona untuk mengadakan rapat yang menyetujui kembalinya Van Gaal. Cruyff menempuh jalur hukum untuk menentang keputusan tersebut. Pada akhirnya, meskipun pengadilan tidak mengabulkan tuntutan Cruyff, Van Gaal tak pernah kembali ke Ajax. Malah, pada 2012, ia menjadi manajer timnas Belanda.

Cruyff terdiam ketika kembali ditanya firasatnya soal prospek Van Gaal dengan United. "Aku tidak tahu, sebab mereka hampir membeli dan membuat sebuah tim baru. Mereka sekarang harus memperbaiki hal itu bersama-sama--tim itu sendiri. Tak ada pertanyaan soal kualitas para pemain, atau apa mereka cukup bagus atau tidak. Namun membuat racikan dari para pemain bagus sangatlah sulit."

Apakah dia bisa mengerti logika kebijakan transfer United, yang mana membuat Van Gaal sekarang menumpuk secara sekaligus para pemain penyerang macam Radamel Falcao, Robin van Persie, Wayne Rooney, Angel di Maria, Adnan Januzaj, dan Juan Mata?  "Logis-logis saja, namun masalah terbesarnya adalah mengatur semua pemain itu. Hal yang sama terjadi di Barcelona. Mereka sekarang punya Suarez, Messi, Neymar--bagaimana caramu memainkan mereka bersama-sama? Jika dipandang secara perorangan, maka mereka adalah para pemain hebat. Hal yang sama terjadi di Manchester United. Secara individual mereka hebat, tapi mereka harus bermain sebagai tim.

"Lalu ada masalah berikutnya. Mereka semua terkenal. Mereka dapat banyak uang baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Bagaimana caramu meracik sebuah tim dan menyatukan ego-ego mereka? Tujuan utama Manchester United adalah membuat mereka bermain bagus--dan tidak ada pemain yang bilang, 'Aku main bagus, mencetak dua gol'. Sebab jika pun aku mencetak dua gol namun kemasukan tiga, tetap saja kami kalah. Mereka menyediakan (Van Gaal) banyak pemain bagus, namun ia harus mengubah mereka menjadi sebuah tim. Dan kamu tak bisa menciptakan kemistri tim dalam dua pekan. Itu butuh waktu."

Apakah itu berarti Van Gaal membutuhkan waktu semusim penuh untuk mengubah transfer United yang tampaknya membabibuta itu menjadi sebuah tim yang nyambung? "Tidak, tidak," kata Cruyff. "Itu terlalu lama. Namun itu bukan berarti mereka bisa memenangi liga. Namun kamu bisa melihat penampilan yang membaik dari pekan ke pekan dan kamu bisa mengarah jadi tim yang lebih baik dalam hal-hal yang lebih rinci. Dan (Van Gaal) adalah orang yang rinci. Jadi mungkin saja beberapa hal berguna. Namun, sekali lagi, bisakah para pemian itu mengembangkan permainannya sendiri demi tim? Itu tidak mudah."

Apakah ia dan Van Gaal memiliki kemiripan pada filosofi sepakbola masing-masing? "Tidak, tidak banyak. Kami sama-sama orang Belanda dan itu senantiasa memberi dasar yang sama. Namun aku selalu menekankan pada  soal kecepatan dan bola. Boleh jadi ia tahu lebih banyak dibanding aku, namun aku selalu ingin menguasai bola. Saat aku tidak menguasai bola, apa yang harus aku lakukan? aku menekan untuk merebutnya kembali. Itulah cara bertahan. Namun yang lebih penting aku suka menguasai bola."

Cruyff bilang: "Van Gaal punya visi bagus tentang sepakbola namun itu berbeda denganku. Ia ingin punya tim juara dan memiliki cara yang militeristik untuk berhasil dengan taktiknya. Aku menginginkan setiap individu berpikir bagi permainannya sendiri." Apakah Van Gaal tetap "militeristik" dalam penekanannya pada "kolektivitas"? Cruyff mengangguk. "Ya. Namun aku selalu punya seorang individu yang senang berkreasi untuk dirinya sendiri dalam tim. Aku senang pemainku berpikir. (Pep) Guardiola adalah contoh yang bagus. Sebagai pemain, ia sempurna secara taktik. Namun ia tidak bisa bertahan. Itu yang dikatakannya. Aku bilang: 'Aku sepakat--dalam arti sempit. Kamu memang pemain bertahan yang buruk jika mencoba mengatasi seluruh area lapangan. Tapi jika kamu bisa mempertahankan area kecilmu, aku rasa kamulah yang terbaik. Urusi areamu, akan ada orang lain yang membantumu mengurus area lain. Selama kamu melakukan hal itu, kamu akan menjadi pemain bertahan yang sangat bagus.' Dan dia jadi pemain yang sangat bagus."

Dia juga mengkritik keengganannya untuk fokus pada pelatihan individu pemain -- dan Cruyff mengulangi poin tersebut. "Itu kenapa aku percaya dengan sesi pelatihan individu untuk mempersiapkan pemain dengan layak. Kamu harus mengurusi individu untuk memperoleh keuntungannya bagi tim -- sebagaimana ditunjukkan kerja kami bersama Guardiola."

Guardiola adalah salah satu murid Cruyff dan penerusnya sebagai manajer Barcelona sebelum mengaso dan kemudian pindah ke Bayern Munchen tahun lalu. Cruyff mengakui pujiannya untuk Bayern. Namun, pada saat yang sama, "Aku tetap sangat mencintai Barca. Aku juga suka Madrid. Caranya sama sekali berbeda dengan gayaku, mereka memperbaiki semuanya secara bersama-sama. Sekarang mereka adalah tim yang kamu tunggu akan melakukan apa lagi. Di lapangan tengah, mereka memiliki tiga pemain yang memiliki sentuhan bola sempurna, namun mereka juga memiliki tiga pemain depan yang membutuhkan tempat untuk bermain. Apa jadinya? Kita akan tunggu. Barca juga kembali ambil ancang-ancang sedikit ke belakang karena mereka menunjuk pelatih baru. Aku tidak bilang pelatih itu bagus atau jelek, namun selalu sangat sulit mengendalikan seorang Messi dan seorang Neymar. Jika kamu tidak bisa mengendalikannya, itu masalah. Hal yang sama terjadi dengan David Moyes dan Manchester United. Beberapa orang bisa mengendalikan pemain tertentu dan kamu butuh itu--itulah yang tidak berjalan. Moyes adalah pelatih yang bagus--cuma, bukan untuk Man United."

Cruyff menggelengkan kepalanya dan mengalihkan arah pembicaraan. "Sepakbola sekarang melulu soal uang. Ada persoalan dengan nilai-nilai dalam permainan ini. Dan ini memprihatinkan, sebab sepakbola adalah permainan terindah. Kita bisa memainkannya di jalanan. Kita bisa memainkannya di mana saja. Semua orang bisa memainkannya, namun nilai-nilai itu tengah menghilang. Kita harus membawanya kembali."

Apakah ia percaya bahwa situasi  di Inggris -- di mana Premier League justru menenggelamkan perkembangan tim nasional dan itu kontras dengan apa yang terjadi dengan Bundesliga dan timnas Jerman--akan berubah? "Harapannya begitu," kata Cruyff. "Di Premier League masalahnya ada pada uang, namun aku benar-benar tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Jika melihat timnas Inggris atau bahkan Spanyol, kamu bisa melihat ada masalah. Berapa pemain Inggris yang bermain untuk empat tim teratas di Premier Laegue? Berapa penyerang Spanyol yang bermain di Barcelona atau Real Madrid?

Kami bicara beberapa hari setelah tim asuhan Roy Hodgson menang mengesankan 2-0 melawan Swiss, namun poin penting Cruyff tentang mandeknya pengembangan pemain muda Inggris, dan bahkan sejawatnya di Spanyol di antara masa keemasan La Liga, tetaplah berlaku. Dan yang terasa memilukan adalah, apabila pulang ke Amsterdam, Cruyff pasti menyebut-nyebut pelatih-pelatih Inggris yang membantunya tumbuh di Ajax pada awal 1960-an.

"Aku memikirkan Vic Buckingham, orang yang memungutku (bagi debut Cruyff untuk Ajax pada November 1964). Bahkan sebelum Vic (yang melatih Cruyff di Ajax dan Barcelona) ada Keith Spurgeon. Dia tidak dikenal, namun dialah pelatih pertamaku. Aku belajar Bahasa Inggris dari Keith Spurgeon. Dia punya anak kecil dan saat itu aku masih kecil, dan kami ngomong pakai bahasa Inggris bersama-sama dan itu fantastik."

Pelatih Inggris tidak selalu dikenal karena inovasi taktiknya--jadi apakah Spurgeon dan Buckingham lebih terbuka cara berpikirnya dibanding para penerusnya? "Mereka open minded, namun secara taktik kamu bisa melihat di mana kami berada saat itu. Sepakbola di Belanda bagus, namun tidak benar-benar profesional. Mereka memberi kami sikap profesional itu sebab mereka sudah berjalan lebih jauh. Namun pemikiran soal taktik datang belakangan bersama Michels. Itu dimulai belakang."

Cruyff mengubah visi Michels jadi kerja nyata, terutama di Barcelona. Namun, yang lebih mencolok ia terlihat lebih bangga berkait kegiatannya bersama yayasan yang memampang namanya. Setelah sehari ia membaktikan dirinya membantu anak-anak penyandang cacat berkembang dengan berbagai jenis olahraga, Cruyff berkata dengan enteng: "Ini indah. Dan hal yang luar biasa adalah hal ini memberimu lebih. Aku mencoba membantu mereka, namun mereka juga membantuku. Presiden Paralympic pernah berkata kepadaku perbedaan antara tubuh yang tidak cacat dengan yang cacat. Dia bilang: 'Penyandang cacat tidak berpikir tentang apa yang tidak mereka punya. Mereka cuma berpikir tentang apa yang mereka punya'. Kalau saja kita semua bisa belajar berpikir seperti itu.

"Kami punya institut dengan banyak anak muda yang bisa membantu federasi mereka dan klub-klub olahraga. Ajaib melihat hal ini terjadi, sebab mereka selalu mengejutkanku. Jika kamu melihat apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka berkembang sebagai seseorang, kamu akan belajar banyak hal."

Pesepakbola gaek ini tampaknya berbagi kesenangan dengan Di Stefano dalam penghiburannya berkait "bekerja dengan anak muda". Dan, dengan warisannya sendiri sebagai seorang pemain dan pelatih yang terabadikan, Cruyff bisa melihat Van Gaal dari kejauhan -- dan bertanya-tanya apa rivalnya tersebut mungkin masih mengakui, meskipun sekejap, atas kepercayaan yang sengit Di Stefano bahwa manajemen sepakbola adalah "pekerjaan paling mengerikan yang pernah ada".

Cruyff tampaknya lebih tertarik dengan cara Guardiola menjalani musim keduanya di Bayern. Ia mengisyaratkan sang juara bertahan mampu mempertahankan gelar Bundesliganya -- namun mereka boleh jadi tidak meraih kembali tropi Liga Champions yang mereka menangi di bawah asuhan Jupp Heynckes pada 2013. Namun Cruyff melihat prinsip-prinsip terbaik filosofinya pada Guardiola. "Ya, ia punya itu. Lazimnya aku akan bilang bahwa hal terpenting bagi pelatih adalah ia (mampu melewati) masa-masa sulitnya saat ia muda. Lihat Guardiola dan aku. Persis sepertiku, ia sangat kurus dan ia harus melatih tekniknya. Kamu bisa melihat itu pada Iniesta dan Messi juga. Mereka harus melakukan sesuatu dengan cepat atau mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Itu artinya, mereka peduli dengan hal-hal rinci. Kamu harus berpikir lebih cepat dan melihat lebih banyak hal. Dan jika kamu melihat lebih banyak hal kamu bisa menolong lebih banyak orang."

Cruyff melihat jauh ke gelanggang Olimpiade tua di Amsterdam dan, dengan gerakan bahunya yang familiar, dia berkata, pada akhirnya: "Ini seperti semua hal di sepakbola--dan hidup. Kamu perlu melihat, berlu berpikir, perlu bergerak, perlu menemukan ruang kosong, dan kamu perlu menolong orang lain. Itu sangat sederhana pada akhirnya."


*(Diterjemahkan dari "Johan Cruyff: How will 'militeristic' Louis van Gaal manage all the egos at Manchester United?", by Donald McRea, The Guardian, Jumat, 12 September 2014)

Related Posts:

0 Response to "Cruyff: Mampukah Van Gaal yang Militeristik Menangani Ego-ego di United?*"

Posting Komentar