Rasisme Sepakbola Kita

Oleh Darmanto Simaepa

Apa yang ada dalam gagasan penonton sepakbola mengenai rasisme mungkin adalah ucapan Luis Suarez terhadap Patrice Evra, lemparan kulit pisang penonton Osasuna kepada Carlos Kameni, atau tiruan suara monyet saat Samuel Etoo melakukan selebrasi. Dalam konteks Indonesia, rasisme yang setengah disadari dan setengah dikagumi ini, selalu saya dengar dan saksikan dari teriakan suporter Semen Padang (SP) di Stadion Agus Salim. Terutama di tribun timur, pendukung SP akan berteriak ‘Papua itam (hitam]’ kepada pemain Persipura (meski Elie Aiboy dari Papua dan Edu Wilson berkulit gelap adalah pemain kesayangan mereka). Jika klub dari Jawa yang bermain, selain umpatan 'Pantek Ang Wasit', koor ‘baruak [monyet]Jawa’ pasti akan ditujukan kepada pemain yang bersiap menendang bola.

Namun, definisi rasisme bisa jadi sangat relatif. Mengucapkan kata negro di Brazil bisa menjadi cara mengekspresikan rasa sayang. Di Indonesia, dengan 500 lebih suku bangsa dan bahasa, kita tiap hari bertemu dengan lelucon, humor, atau alegori yang mungkin membuat orang Eropa tercerahkan yang mendengarnya segera menelpon kantor pengacara HAM ternama di jalan Sudirman. Lelucon tentang tubuh, asal-usul, suku kita dapati di acara komedi, kedai kopi hingga konferensi politisi sesering kita mengusap daki.

Tentu saja saya tidak membenarkan sterotyping, prasangka berdasar etnis, atau pelabelan berdasarkan warna kulit. Namun, saya tidak akan menceritakan kisah rasisme sepakbola jenis itu!

*****

Saya ingin membahas rasisme yang jauh lebih serius. Hal ini berangkat dari keterkejutan bahwa satu-satunya pemain keturunan Tionghoa terakhir yang saya ingat adalah Hermansyah, kiper legendaris era 1980an. Mungkin data saya terbatas sehingga tidak mendeteksi para pemain keturunan Tionghoa yang bermain di ISL/LPI sekarang ini. Akan tetapi, jika kita membandingkan dengan sejarah awal tim nasional Indonesia, kita menemukan masalah serius dengan sepakbola kita terkait dengan keturunan Tionghoa.

Gejala surutnya peran pemain keturunan Tionghoa selama 3-4 dekade dari timnas berkebalikan dengan sejarah awal sepakbola ‘nasional’ di permulaan abad 20. Di Padang, Medan, Makasar, Bandung, Semarang dan Solo, dan terutama Surabaya, asosiasi sepakbola keturunan Tionghoa memainkan peranan penting dalam kompetisi nasional di akhir periode kolonial. Melalui pertunjukan sepakbola yang digelar di sela-sela pemanggungan opera Dardanella dengan kisah Sam Pek Eng Tay hingga Laila Majnun, pemilik opera dan panggung sandiwara mengorbitkan pemain-pemain ‘pribumi’. Pemain itu dibayar dengan harga yang pantas dan mendapat popularitas sebagai artis lapangan hijau.

HVNB, asosiasi sepakbola milik keturunan Tionghoa, dalam berbagai cara, berpartisipasi dalam pembentukan gagasan nasionalisme melalui PSSI tahun 1930 yang dilatari suasana pergerakan melawan Belanda. Sebaliknya, gerakan kebangsaan populis dan egaliter melanjutkan zaman bergerak memberi peluang bagi warga keturunan Tionghoa berpartisipasi dalam pemantapan gagasan nasionalisme.

Pemain-pemain bintang klub-klub elit seperti Persib Bandung, Persis Solo, Persebaya dan Persija berasal dari keturunan Tionghoa. Dalam seleksi versi PSSI yang akan diberangkatkan—namun tidak jadi karena PSSI berkonflik dengan asosiasi sepakbola Belanda, NIVU—5 pemain utama adalah keturunan Tionghoa. Mereka menjadi andalan timnas Indonesia saat mengikuti Asian Games di New Delhi (1950) dan Manila (1954). Lima pemain inti yang berhasil menahan Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne adalah keturunan Tionghoa.

Sampai paruh 1950an, pemain timnas keturunan tionghoa memakai nama aslinya. Bee Ing Hien, Tee San Liong, Bing Moheng, Taan Liong Houw, dan Han Siong bermain dengan nama lahir aslinya menjelang penyisihan piala dunia Swedia. Mereka bermain secara reguler dan nyaris tak tergantikan, baik untuk klub profesional maupun untuk tim nasional.

Entah dari mana asalnya, sebelum melawan China tahun 1957, beberapa media nasional menyangsikan nasionalisme pemain keturunan Tionghoa ini. Beberapa pemain ternama sangat terpukul akibat pertanyaan. Meski Indonesia mengalahkan China 2-0, hati mereka telah retak dan angin rasisme dalam sepakbola nasional tak pernah mereda.

Nuansa diskriminasi di masa itu meningkat pesat tanpa diketahui jawabnya hingga kini. Kita hanya merasakan gejalanya dalam surat-surat Pramoedya A. Toer yang dibukukan dalam Hoa Kiau di Indonesia (1963). Bukan kebetulan jika pada masa itu terjadi konflik etnis Dayak dan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat (1959) dan kerusuhan anti-Tionghoa di Bandung (1963). Bukan suatu kebetulan juga jika salah satu pemain keturunan Tionghoa terbaik Taan Liong Houw mengubah nama menjadi L. H. Tanoto setelah tahun 1958.

Periode 1960-1970an menandai lenyapnya keterlibatan pemain-pemain keturunan Tionghoa dalam sepakbola nasional. Sebagian bekas pemain hebat itu membina klub, dan sebagian menyepi ke kota kelahirannya. Seperti Beng Ing Hien, pemain legendaris yang memlih pulang ke Lasem dan berjualan kue untuk menafkahi keluarganya.

Pasti ada penjelasan sosial kenapa sepakbola kita kehilangan bakat-bakat terbaik dari penduduk keturunan Tionghoa—dan kemudian bulu tangkis mendapatkan berkahnya. Kebijakan rasial politik kolonial memberi embrio segregasi sosial berdasar garis etnis. Politik kewarganegaraan Indonesia pasca merdeka belum bisa mengintegrasikan status yang menurut saya sangat rasis, ‘non-pribumi’, ke dalam kesetaraan warga. Apalagi gejolak sosial sebelum dan sesudah kontra-revolusi 1965 menyebabkan terjadi diskriminasi rasial yang sangat serius dan dalam beberapa aspek, memiliki kualitas dengan Anti-Semit. Ada asosiasi yang sangat sublim antara ‘menjadi komunis’ dan menjadi ‘keturunan Tionghoa’.

Rasialisme ini muncul dalam konteks politik menjelang perebutan kekuasaan 1965. Pasca 1965, strategi politik baru atas nama pembangunan banyak mempengaruhi konfigurasi sosial warga keturunan Tionghoa. Pertumbuhan ekonomi dan kapitalisme semu mendomestikasi peran keturunan Tionghoa dalam bidang ekonomi. Domestikasi ini, secara tidak langsung, membatasi peran keturunan Tionghoa dalam arena publik seperti militer, partai politik, atau Universitas.

Masalahnya adalah: diskriminasi ini ditemukan gejalanya pada sepakbola, olah raga yang dipercaya sangat demokratis dan inklusif. Sebuah arus balik telah meminggirkan peranan penting pesepakbola ke garis pantai yang marjinal hanya karena mereka dikategorikan secara administratif sebagai tidak ‘pribumi’. Ini adalah suatu paradoks, karena suara yang meragukan etos nasionalisme pesepakbola tidak pernah terdengar di suatu masa menjelang merdeka, dimana semua orang berhak meleburkan diri dalam pembentukan sebuah bangsa yang berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Ini adalah gejala anomali dalam hubungan politik dan sepakbola di sebuah negara yang secara eksplisit memberikan hak dan kewajiban yang sama dalam konstitusinya. Di belahan dunia lain, sepakbola adalah alat politik hebat untuk melawan rasisme. Zidane, Makelele, Desailly dkk. mampu membungkam politisi sayap kanan Le Pen dengan menjuarai piala dunia 1998 dan piala Eropa 2000. Kehadiran Oezil, Khedira, Cacau dan para imigran memberi dimensi baru bagi integrasi Jerman dengan pendatang pada masa yang belakangan.

Hingga kini saya belum menyaksikan lagi pemain keturunan Tionghoa bermain di timnas. Mungkin saya salah, karena pasti diantara ribuan anak muda yang mencintai sepakbola dan berhasil masuk dalam industrinya, ada diantara mereka adalah keturunan Tionghoa. Mungkin masalahnya bukan sepakbola Indonesia sendiri yang rasis. Namun, dengan melihat ketidakmampuannya mengintegrasikan kelompok sosial tertentu ke dalam permainan ini, yang direpresentasikan oleh timnas, sepakbola kita memang belum memberi kontribusi bagi politik kewarganegaraan Indonesia yang lebih inklusif. Jika timnas kita tidak bisa merepresentasikan keberagaman, apalagi yang bisa dikatakan selain bahwa, memang rasisme dalam bentuknya yang paling sederhana, masih belum bisa diatasi oleh sepakbola Indonesia.

Related Posts:

0 Response to "Rasisme Sepakbola Kita"

Posting Komentar