Sepakbola Jadi-jadian ala Pabrik Minuman

Mahfud Ikhwan


Mimpi buruk Philip Oltermann dan sebagian fan sepakbola Jerman—mungkin juga dunia—itu akhirnya jadi nyata. Pada 2014, Oltermann, kontributor Jerman untuk The Guardian, menulis tentang kegundahannya berkait perkembangan sebuah klub aneh bernama RB Leipzig. Klub yang waktu itu masih bermain di divisi tiga kompetisi sepakbola Jerman itu dianggapnya bukan saja akan membahayakan tatanan mapan sepakbola Jerman, tetapi juga mengancam sistem (kepemilikan) yang dianut klub-klub di negara itu.

Pada 8 Mei 2016, RB Leipzig naik kelas. Hanya butuh satu tahun di kasta kedua sepakbola Jerman, RB Leipzig menjadi satu dari dua klub yang langsung promosi ke level tertinggi, Bundesliga. Menyertai juara Freiburg, klub yang jadi langganan Bundesliga, RB Leipzig menyingkirkan banyak klub besar lain macam Duisburg, Armenia Bielefeld, Bochum, hingga FC Kaiserslautern. Jika sebagian saja keajaiban yang dialami Leicester City di Liga Inggris musim ini terjadi pada Leipzig di Liga Jerman musim depan, mungkin saja kita akan lihat klub ini berlaga di Liga Champions lebih cepat dibanding yang angankan pemiliknya, Dietrich Mateschitz, saat mendirikan klub ini tujuh tahun lalu. Ya, tujuh tahun lalu. Klub itu berdiri pada 2009, setelah menyulap sebuah klub desa di kawasan Saxonia, bekas Jerman Timur, yang berlaga di divisi lima.

Tak mengherankan, oleh para fan klub-klub tradisional di Jerman, RB Leipzig diejek sebagai “plastic club”, alias klub jadi-jadian.

***

Banyak orang dan hal ganjil dalam sejarah sepakbola. Dan keganjilan itu makin menjadi-jadi dalam 10 tahun terakhir, seiring menggilanya industrialisasi di sepakbola, dan makin banyak dan bergentayangannya para taipan yang serampangan menanam uangnya. Tapi Mateschitz dan RB Leipzip mungkin yang paling ganjil di antaranya.

Dietrich Mateschitz adalah co-owner Red Bull GmbH, pabrik berbasis di Austria yang memproduksi minuman berenergi Red Bull. Setelah sukses mencaplok salah satu klub terbesar di negara asalnya, SV Austria Salzburg, pada 2005, Red Bull GmbH mencoba merambah Jerman. Atas saran orang terpenting dalam sejarah sepakbola Jerman, Franz “Der Kaiser” Beckenbeuer, Mateschitz mengincar area bekas Jerman Timur, tepatnya kota Leipzig. Leipzig punya sejarah dan fanatisme yang kuat soal sepakbola (asosiasi sepakbola Jerman, DFB, berdiri di kota ini pada 1900; juga tempat bermarkas VfB Leipzig, juara pertama Liga Jerman, yang di masa lalu tidak asing dengan kompetisi level Eropa). Namun, sejak Unifikasi, kawasan ini tak mampu bersaing dengan para pesaingnya dari belahan barat dan mengelami ketelantaran yang parah.

Pada 2006, deal sudah hampir kelar dengan FC Sachsen Leipzig, klub divisi empat yang dulunya juara Liga Jerman Timur. Tapi veto dari DFB dan protes keras dari fan setempat membuat deal itu gagal.

Merasa gagal di timur, Red Bull menoleh ke barat. Mereka pertama kali mengontak FC St. Pauli, klub kecil di Hamburg yang kesohor di dunia karena militansi dan ideologi kiri suporternya. Mencium gelagat tak menyenangkan, manajemen St. Pauli tak tertarik meladeni. Hal yang sama juga terjadi ketika mereka menghubungi klub yang lebih bersejarah, 1860 Munchen. Petulangan Red Bull berlanjut ke Fortuna Dusseldorf, klub besar lainnya. Tapi begitu suporter mendengar bahwa pabrikan minuman itu mau mengubah nama klub, mereka mengamuk. Red Bull kemudian balik kucing lagi ke Leipzip.

Adalah SSV Markandstadt, sebuah klub desa di pinggiran Leipzig, yang akhirnya ketiban sampur. Klub itu menjual hak bermainnya di liga kasta kelima ke Red Bull, tak pakai lama. Dan kali ini tak ada aral hukum dan administrasi yang menghalangi. Maka, pada 19 Mei 2009, berdirilah RB Leipzig. Dengan segala keganjilannya.

Keganjilan pertama ada pada nama klub. Karena Liga Jerman tidak membolehkan merek menempel pada nama klub, apa yang dilakukan Red Bull dengan klub di Salzburg dan New York tak bisa mereka lakukan di Leipzig. Dicari-carilah istilah yang mengacu pada inisial Red Bull, yaitu Rasen Ballsport yang disingkat RB. Inisial RB bukan saja ganjil untuk ukuran Jerman, tapi juga untuk sepakbola dunia. Sebab Rasen Ballsport berarti “olahraga bola rumput”.

Keganjilan kedua adalah sistem kepemilikannya. Pemilik RB Leipzig terdiri atas 11 orang, yang kesemuanya adalah karyawan atau agen Red Bull. Jumlah urunan yang mahal dan persyaratan yang ribet membuat sistem kepemilikan yang luas dan biasanya didominasi suporter klub, seperti yang lumrah di sepakbola Jerman, tak terjadi di RB Leipzip. Sebagai contoh, untuk menjadi member Bayern Munchen, seseorang hanya perlu membayar 60 Euro permusim, sementara member Leipzig harus membayar 800 Euro setahun.

Hal ganjil lain ada pada tim mudanya. Ketika berdiri, RB Leipzig tak memiliki tim junior, salah satu syarat untuk bisa berkompetisi. Ambil jalan gampang, mereka mendekati FC Sachsen Leipzig, klub yang gagal mereka akuisi tiga tahun sebelumnya, agar mau menjual tim juniornya kepada klub sekotanya yang baru berdiri itu. Klub yang keuangannya sedang kelabakan itu tak punya pilihan. Dan jadilah, maka jadi.         

Setelah semua beres, mereka akhirnya berkompetisi. Selalu menjadi klub dengan belanja terbesar di tiap divisi yang ditapakinya, termasuk dengan mengakuisisi stadion bekas Piala Dunia 2006 berkapasitas hampir 43 ribu kursi dan mengontrak Ralf Ragnick, pelatih yang pernah membawa Schalke ke semifinal Liga Champions, menjadi direktur olahraga dan kemudian pelatih kepala, RB Leipzig sulit dibendung para kompetitornya. Hanya butuh tujuh tahun untuk merangsek dari divisi ke-5 menuju puncak piramida sepakbola Jerman, Bundesliga.

***

Industri, atau lebih spesifik lagi merek dagang, memang tak pernah jauh dari sepakbola. Olahraga paling populer ini jelas terlalu ramai untuk bisa diabaikan kaum bakulan. Kita bisa mencatat, dalam sejarah sepakbola, peran mereka bahkan jauh melebihi semestinya. Misalnya, terpilihnya Joao Havelange sebagai Presiden FIFA pada 1974, tak bisa lepas dari uang bekingan milik Adidas dan Coca Cola. Karenanya, begitu Havelange menggulingkan Stanley Rous yang rasis dan Eropasentris itu, dua merek tersebut mendapat hak istimewa di turnamen-turnamen yang diselenggarakan FIFA dan pengembangan program sepakbola di berbagai level dan tempat.

Belakangan, uang dan merek dagang tampil dalam bentuk yang lebih jelas, lewat para juragan yang datang dari wilayah-wilayah yang jauh dan kadang berlatar belakang remang-remang, yang keluyuran di liga-liga Eropa. Uang mereka yang seperti tak berseri mencoba menyulap tim-tim biasa saja, atau bahkan gurem, menjadi kekuatan baru yang ditakuti. Ada yang berhasil, biasanya karena besarnya uang yang mereka kucurkan, ada pula yang gagal total. Yang berhasil akan mencoba mencari mangsa baru, sementara yang gagal dengan enteng pergi, meninggalkan klub ambyar dan para suporter yang meradang.

Red Bull, dengan sangat mencolok, tampaknya merangsek ke tahap yang lebih jauh lagi.

Pada awal-awal kiprahnya di dunia olahraga, Red Bull lebih banyak berkutat di cabang-cabang otomotif dan olahraga ekstrem. Mereka punya tim di F1 dan NASCAR, dan memiliki ajang balapan pesawat yang memakai merek mereka sebagai nama kejuarannya.  Tapi kita tahu, mereka tak akan tenang kalau mereka belum masuk ke sepakbola. Dalam waktu empat tahun saja (2005-09), mereka telah memiliki lima klub di tiga benua dengan nama, logo, dan seragam klub yang nyaris atau bahkan sama sekali mirip: Red Bull Salzburg (Austria), RB Leipzig (Jerman), New York Red Bull (AS), Red Bull Brazil (Brazil), dan Red Bull Ghana (Ghana).

Jika merek lain memburu bagian dada seragam klub-klub besar, atau menawar stadion-stadion kandang untuk dinamai merek produk, Red Bull memilih langsung ikut bermain. Meskipun cibiran datang dari kiri-kanan, mereka tetap gerak jalan. Kalau semua lancar, dengan sedikit keberuntungan, mungkin dengan ditambah kelancangan di bursa pemain, Dietrich Mateschitz akan bisa menonton klub miliknya di Liga Champions Eropa. Dan kenapa cuma satu jika bisa dua. Dan alangkah tidak mustahilnya pada tahun 2027, misalnya, separoh dari peserta Piala Konfederasi memiliki nama, logo, dan seragam yang sama. Oh, siapa tahu juga, nama pialanya kali itu disebut Piala Red Bull.

Sama sekali tidak mustahil. Setidak mustahil jargon mereka: “Red Bull Gives You Wings”.


*Pernah dimuat di Jawa Pos, 17 Mei 2016    



          

Related Posts:

0 Response to "Sepakbola Jadi-jadian ala Pabrik Minuman "

Posting Komentar